Jakarta Februari 2006,
menulis dan jati diri,
Ada masanya orang tersesat, tak paham benar ingin melakukan apa dalam hidupnya. Katanya, masa-masa itu dinamakan kehilangan jati diri dan proses menjadi normal kembali disebut sebagai proses pencarian jati diri. Lalu apa hubungaannya jati diri dengan tulis menulis? ah, aku sendiri sedang tak begitu kehilangan jati diri, tapi yang pasti belakangan ini aku tak paham benar, ingin menuliskan apa tentang hidupku.
Ironisnya, hidupku yang lebih berwarna kali ini, tak kunjung diabadikan di tulisan, hanya di angan-angan. Dan Elly pun tertawa riang, bersorak, merayakan kemenangannya melawan ke-egoisanku dalam menulis. aku pun merasa sedikit lebih nyaman menceritakan pengalaman sehari-hariku itu secara langsung, sambil duduk di kursi lincak tua di depan kamarku, sebatang rokok, diiringi sapuan tangan elly mengusir asap rokokku itu.
Seringkali apa yang ingin kutuliskan itu malang melintang dipikiranku, bahkan ketika rangkaian kata yang kuanggap hebat dan inspirasional itu sudah menjadi begitu nyata, begitu padat, tapi langsung menyublim menjadi uap tatkala aku kembali dari lamunan ke kenyataan.
Hari ini aku dapet bocoran tentang kehidupan dan karir, dari teman di negeri seberang. Kebetulan kita satu project, dan seperti biasanya, hobiku ngobrol ngalor-ngidul nampaknya kumat lagi. Berjam-jam, kami berdua ngobrolin tentang karir, tentang menjadi sukses, tentang profesi. Dia nggak pengen menentukan jalan hidupku, cuman dia berbagi, tentang pengalaman hidupnya. Umurnya 35 tahun, sudah menikah 10 tahun, dan punya 4 anak. Waktu pertama kali ketemu, sepintas terlintas bahwa orang ini pendiam, dan teknikal abis. Toh hal itu luluh lantak, setelah seminggu kerja bareng dipenuhi tawa, dan kebodohan-kebodohan manusia yang muncul tatkala kita terlalu serius dengan sesuatu.
Lulus sebagai sarjana biologi, sempat bekerja setahun di bidang itu juga, dan menghasilkan beberapa publikasi. Akhirnya dia banting stir ke IT. Tahun demi tahun berjalan, dari satu Sistem Integrator, ke sistem integrator lain. Karena dia suka teknikal, dan kepindahan itu demi gaji yang lebih tinggi. Dia juga memegang beberapa sertifikasi bergengsi. Sampai akhirnya 2 tahun lalu dia mulai berpikir, untuk tidak kerja di teknikal lagi. Yang bikin dia mulai mikir adalah, rekan-rekan seangkatannya dikuliah dulu, sekarang sudah naik BMW tapi disamping itu masih punya beberapa mobil lain, rumah di tengah kota besar, anak sekolah di tempat yang bagus dan mahal. Seolah-olah hidup yang kadang cuman bisa kita liat di sinetron sekarang ada di depan mata dia. Sementara Rumah yang dia tinggali masih ngontrak, pergi ke kantor masih naek motor. Jadi dia pesan, kalo memang punya impian, sebaiknya mulai dikejar, mulai dikerjakan. Karena 5-7 tahun dari sekarang pasti akan kelihatan perbedaannya.
Dulu, aku juga pernah memikirkan tentang hal ini, tentang karir, tentang masa depan. Bahkan sampai detik ini, peperangan itu belum berakhir, dan sampai detik ini juga belum menunjukkan gejala-gejala kedamaian. Orang timur jaman dulu pernah bilang, sukses adalah melakukan apa yang kita mau lakukan, dan tidak melakukan apa yang tidak mau kita lakukan.
Akhirnya aku menyimpulkan, bahwa kendalaku saat ini adalah selalu kalah melawan gerilya kemalasan. Tak punya konsistensi. Orang besar pasti punya konsistensi, dan sekarang aku tak punya. Dari semua strategi yang sudah dibuat sempurnya, tinggal kurang pelaksanaannya. Malahan terkadang tak kunjung dilakukan, sudah masuk museum duluan. Ya, museum, museum impian.
Yup, begitulah, aku langsung tersadar. Aku langsung menyatakan perang besar-besaran, bukan ke Irak, tapi ke medan perang di mana kalo kita semua menang, aku yakin wajah dunia akan lebih baik. Pengangguran yang 10 juta orang itu pun bisa dihapuskan.
Ah, aku pikir-pikir lagi, ini bukan tentang gaji, atau profesi, tapi tentang hati.
menulis dan jati diri,
Ada masanya orang tersesat, tak paham benar ingin melakukan apa dalam hidupnya. Katanya, masa-masa itu dinamakan kehilangan jati diri dan proses menjadi normal kembali disebut sebagai proses pencarian jati diri. Lalu apa hubungaannya jati diri dengan tulis menulis? ah, aku sendiri sedang tak begitu kehilangan jati diri, tapi yang pasti belakangan ini aku tak paham benar, ingin menuliskan apa tentang hidupku.
Ironisnya, hidupku yang lebih berwarna kali ini, tak kunjung diabadikan di tulisan, hanya di angan-angan. Dan Elly pun tertawa riang, bersorak, merayakan kemenangannya melawan ke-egoisanku dalam menulis. aku pun merasa sedikit lebih nyaman menceritakan pengalaman sehari-hariku itu secara langsung, sambil duduk di kursi lincak tua di depan kamarku, sebatang rokok, diiringi sapuan tangan elly mengusir asap rokokku itu.
Seringkali apa yang ingin kutuliskan itu malang melintang dipikiranku, bahkan ketika rangkaian kata yang kuanggap hebat dan inspirasional itu sudah menjadi begitu nyata, begitu padat, tapi langsung menyublim menjadi uap tatkala aku kembali dari lamunan ke kenyataan.
Hari ini aku dapet bocoran tentang kehidupan dan karir, dari teman di negeri seberang. Kebetulan kita satu project, dan seperti biasanya, hobiku ngobrol ngalor-ngidul nampaknya kumat lagi. Berjam-jam, kami berdua ngobrolin tentang karir, tentang menjadi sukses, tentang profesi. Dia nggak pengen menentukan jalan hidupku, cuman dia berbagi, tentang pengalaman hidupnya. Umurnya 35 tahun, sudah menikah 10 tahun, dan punya 4 anak. Waktu pertama kali ketemu, sepintas terlintas bahwa orang ini pendiam, dan teknikal abis. Toh hal itu luluh lantak, setelah seminggu kerja bareng dipenuhi tawa, dan kebodohan-kebodohan manusia yang muncul tatkala kita terlalu serius dengan sesuatu.
Lulus sebagai sarjana biologi, sempat bekerja setahun di bidang itu juga, dan menghasilkan beberapa publikasi. Akhirnya dia banting stir ke IT. Tahun demi tahun berjalan, dari satu Sistem Integrator, ke sistem integrator lain. Karena dia suka teknikal, dan kepindahan itu demi gaji yang lebih tinggi. Dia juga memegang beberapa sertifikasi bergengsi. Sampai akhirnya 2 tahun lalu dia mulai berpikir, untuk tidak kerja di teknikal lagi. Yang bikin dia mulai mikir adalah, rekan-rekan seangkatannya dikuliah dulu, sekarang sudah naik BMW tapi disamping itu masih punya beberapa mobil lain, rumah di tengah kota besar, anak sekolah di tempat yang bagus dan mahal. Seolah-olah hidup yang kadang cuman bisa kita liat di sinetron sekarang ada di depan mata dia. Sementara Rumah yang dia tinggali masih ngontrak, pergi ke kantor masih naek motor. Jadi dia pesan, kalo memang punya impian, sebaiknya mulai dikejar, mulai dikerjakan. Karena 5-7 tahun dari sekarang pasti akan kelihatan perbedaannya.
Dulu, aku juga pernah memikirkan tentang hal ini, tentang karir, tentang masa depan. Bahkan sampai detik ini, peperangan itu belum berakhir, dan sampai detik ini juga belum menunjukkan gejala-gejala kedamaian. Orang timur jaman dulu pernah bilang, sukses adalah melakukan apa yang kita mau lakukan, dan tidak melakukan apa yang tidak mau kita lakukan.
Akhirnya aku menyimpulkan, bahwa kendalaku saat ini adalah selalu kalah melawan gerilya kemalasan. Tak punya konsistensi. Orang besar pasti punya konsistensi, dan sekarang aku tak punya. Dari semua strategi yang sudah dibuat sempurnya, tinggal kurang pelaksanaannya. Malahan terkadang tak kunjung dilakukan, sudah masuk museum duluan. Ya, museum, museum impian.
Yup, begitulah, aku langsung tersadar. Aku langsung menyatakan perang besar-besaran, bukan ke Irak, tapi ke medan perang di mana kalo kita semua menang, aku yakin wajah dunia akan lebih baik. Pengangguran yang 10 juta orang itu pun bisa dihapuskan.
Ah, aku pikir-pikir lagi, ini bukan tentang gaji, atau profesi, tapi tentang hati.
Post a Comment