Kalo diitung-itung, sampe sekarang aku udah cuti nulis sebanyak 200 hari. Ah, tapi aku kan bukan orang yang perhitungan. Malahan kadang aku tak kunjung berani meminta apa yang sudah mutlak jadi hak-ku. Lucu? atau ada sebagian orang menganggap itu aneh? Hehehe...kalo buatku sih, hal itu masih dalam proses normalisasi. Iya, sampe sekarang aku masih kesusahan untuk ngomong apa adanya. Malahan apa yang tadinya udah direncanain sampe mateng buat diomongin, eeh..menguap entah ke mana, dan tak jarang kata-kata yang terucap justru kebalikannya.

Temen skripsiku pernah bilang tentang kesejatian. Dan apa yang sering aku lakuin itu, baik sadar dan nggak sadar, adalah nggak sejati. Itu benihnya, garansi deh, kita bakalan dapet imbalalan jangka pendek dan jangka panjang. Hasil investasi itu tadi, dalam jangka pendek akan mengakibatkan kita kepikiran hal itu terus menerus. Mungkin kita akan bilang "Seandainya tadi bilang gini..." atau "seandainya tadi aku ngomong ke si itu..." tapi, lagi-lagi dalam hati. Sedangkan hasil investasi dalam jangka panjang bisa jadi lebih menarik perhatian, yaitu dalam bentuk penyakit. Banyak pikiran membuat kekebalan tubuh jadi berkurang daya tahannya. Akibatnya ya penyakit bebas berkeliaran dan berkembang biak disana-sini. Ah, aku jadi ingat buku berjudul Ketika Diam Bukan Emas, yang mengupas lebih dari cukup antara hubungan menulis dan kesehatan.

Yah, selama masa cuti menulisku, aku memang mengerjakan sesuatu. Yup aku bekerja, di karawaci tepatnya. Demi sesuap nasi dan seember berlian, kata seorang temanku yang lain lagi. Ketika kujawab pertanyaan orang-orang di mana tempat kerjaku, rata-rata jawaban mereka "Jauh amat.." atau "jauh ya..." yah, pokoknya entah kata 'jauh' itu menerangkan atau diterangkan, pasti selalu disebut.

Ng...ya gitu deh, tiba-tiba ketemu Thomas S. Kane di Oxford, 1988. Dia bilang bahwa menulis itu adalah aktivitas yang rasional dan menulis adalan aktivitas yang sangat berharga. Menulis adalah aktivitas yang rasional artinya hal tersebut tidaklah lebih dari latihan pikiran dan penguasaan teknik-teknik yang dapat dipelajari oleh semua orang. Memang masih ada batasnya, kita tidak mungkin akan dapat belajar menulis begitu saja kemudian hasilnya setara dengan tulisan Shakespeare atau Charles Dickens. Kane bilang, orang yang sedang belajar menulis tidak akan bisa jadi jenius hanya dengan membaca bukunya.Tapi dia juga bilang, bahwa kita nggak harus jadi jenius untuk menulis secara efektif dan jelas. Dengan latihan menulis, kita bisa mengkomunikasikan isi pikiran kita, dan orang lain bisa memahaminya. Kane menekankan juga bahwa, sebelum kita jadi pengusaha, pengacara, guru atau network engineer, kita adalah manusia. Perkembangan kita sebagai manusia sangat tergantung berdasarkan kapasitas kita untuk mengerti dan menggunakan bahasa. Menulis adalah media untuk bertumbuh.

Aku pun merasa, nggak akan ada argumen yang menentang bahwa apabila kita mampu menulis maka kita akan menjadi lebih baik. Tentunya menulis juga membuat kita makin kompleks dan makin menarik, makin menjadi manusia. Dan mengutip kata teman skripsiku itu, makin sejati. Maka aku tak cuti lagi.