2 September 2005
Kebiasaan,
Setiap orang mungkin punya kebiasaan yang unik, sebagian lagi punya 'ritual' sendiri-sendiri. Kali ini adalah kali pertama aku memulai, kali pertama aku menulis sambil jongkok di atas kloset, untuk buang hajat tentunya, sambil ditemani sebatang rokok cigarilos. Mungkin terdengar aneh dan tak masuk akal, tapi aku yakin ada sebagian orang tahu benar bahwa ada hal-hal besar yang diciptakan di kamar mandi.
Aku sendiri belum pernah membaca buku renungan Kloset, hanya pernah mendengar bahwa buku itu bagus, dan memang isinya benar-benar ditemukan pada saat si penulis merenung di atas kloset. Kebiasaanku yang pertama kali ini memang tanpa perencanaan. Mengingat bahwa sebagian besar hal-hal yang kurencanakan dengan sempurna justru tak terlaksana, tapi nyaris gagal dengan sempurna.
Ini kali, aku punya pemikiran sebenarnya cukup sederhana. Semua orang pasti buang hajat. Rasanya tak perlu lagi kutuliskan seberapa penting buang hajat bagi setiap orang, tak perlu pula kusebutkan sederetan akibat-akibat yang mungkin muncul menggangu kesehatan, atau mengganggu momen-momen penting, apabila kita tidak membuang hajat setiap pagi secara teratur.
Untuk sebagian orang lagi, terutama untuk orang yang tidak pernah atau belum kecanduan merokok, pasti akan berpikir bahwa merokok sambil buang hajat adalah hal yang menjijikan. Akal sehat orang-orang tadi tak akan pernah bisa menerima kenikmatan itu, apanya yang nikmat sih menghirup racun plus bau tai sendiri? Aku yakin begitulah hasil pemikiran mereka.
Lagi-lagi untuk sebagian orang, pasti ada yang tak pernah bisa menerima bahwa membaca dan menulis itu nikmat. Mungkin orang-orang ini akan berpikir bahwa seseorang yang membaca buku dan memawanya ke mana-mana adalah orang yang rajin, kutu buku, terkucil dari pergaulan sosial karena orang itu lebih asik berkutat dengan dunianya sendiri, dunia buku dan orang yang membawa buku ke mana-mana adalah orang yang tak dapat menikmati indahnya hidup. Jauh dari kaum jet-set, jauh dari gemerlap lampu diskotik, jauh dari kedai kopi gaul, dan jauh dari sederetan minuman keras maca tequilla, red label, black label atau campagne.
Dulunya aku adalah salah satu dari sebagian orang yang mempertanyakan apa nikmatnya merokok, apa enaknya membaca koran atau buku, apalagi menulis. Tapi kini aku adalah perokok, pembaca koran, dan orang yang tergila-gila dengan buku. Aku yakin semua itu berawal dari hal kecil, satu kali, dua kali dan tak sadar apa yang aku lakukan itu sudah menjadi kebiasaan. Bagian yang tak terpisahkan dari diriku.
Memang awalnya aku keranjingan membaca memang gara-gara Kompas. Ibuku berulang kali menegaskan pentingnya membaca dan beliau menunjukkan keteladanan membacanya itu melalui membaca koran.
Dari situlah semenjak aku di jakarta, aku berlangganan koran Kompas. Awalnya kumulai sendiri kebiasaan itu, lalu beberapa orang rekan tertarik dan ikut berlangganan sampai sekarang. Ada yang konsisten, ada yang angin-anginan, hanya membayar iuran bila merasa membaca dan menolak membayar iuran dengan alasan pulang kampung. Aku sendiri tidak pernah absen membayar setiap bulan, terkadang dibagi 2, 3 atau berempat. Itupun seringkali aku yang menomboki. Adalagi yang punya kebiasaan ikut membaca tapi menolak membayar. Biasanya mereka curi-curi waktu baca pada saat aku bangun siang atau saat aku sedang tak berada di kos. Awalnya aku benci sekali terhadap orang-orang kere macam ini, rasa hormatku pada mereka kubunuh dengan cara tatapan sinis atau sindiran yang terkadang cukup menyakitkan untuk ukurang orang yang membaca koran tanpa permisi dan tanpa kesadaran bahwa koran itu ada berkat beberapa orang yang iuran setiap bulannya.
Begitulah, halaman utama Kompas, hampir setiap pagi, yang menemaniku buang hajat. Anak-anak kosku dan beberapa keluargaku pernah bertanya dan sampai sekarang seringkali mengeluhkan perihal waktu mandiku yang cukup lama, 1 jam. Aku hanya tertawa terkekeh dan menganggapinya dengan gurauan.
Tanpa alasan spesial, ritual membaca halam utama sambil buang hajat itu kugantikan dengan ritual menulis sambil buang hajat. Aku pikir apa salahnya pikiranku ini membuang 'hajat'nya sementara tubuhku juga membuang hajatnya. Aku sih tak sanggup mengajukan argumen-argumen bahwa memiliki kebiasaan membaca dan menulis. Aku hanya bisa bilang, buku dan tulis menulis telah membantuku dalam proses menjadi diriku sendiri.
Lalu aku ingin bicara juga tentang tulisan tangan. Lagi-lagi aku hanya pernah mendengar sepintas bahwa kepribadian seseorang bisa tercermin dari tulisan tangannya. Kuperhatikan goresan tanganku kananku dan kudapati tak ada yang sama. Kutebak hasil tulisan tanganku ini, kuhubung-hubungkan dengan kepribadianku. Ada satu hal yang kusadari, aku ini nggak konsisten, angin-anginan. Saat ini aku hanya ingin tulisan tangan yang indah, yang dapat membuat orang terpaku dan tak ragu-ragu melontarkan pujian, bukan hanya karena indahnya tulisan tanganku tapi juga isinya yang berbobot. Bolehlah aku memimpikan hal tulisan tangan itu dan sampai saat itu tercapai aku ingin menuliskan pemikiran-pemikiranku ini dengan tulisan tangan.
Kenapa tulisan tangan? nampaknya hal ini cukup menarik untuk kutuliskan. Aku jadi teringat dengan pemalsuan surat ijin tidak masuk sekolah yang dipalsukan oleh temanku, tapi terbongkar juga oleh wali kelasku. Samar-samar kuingat, wali kelasku waktu itu mengatakan goresan tulisan tangan anak-anak, termasuk di dalamnya berupa tanda tangan, pasti berbeda dengan goresan tangan hasil orang dewasa. Tulisan tangan orang dewasa menggambarkan kedewasaan dari orang dewasa. Tulisan tangan orang dewasa menggambarkan kedewasaan kepribadiannya juga, setiap goresan tak mencerminkan keraguan, tapi kekonsistenan, tak tercerminkan lagi kelabilan emosi atau gejolak jiwa perasaan anak muda.
Kedewasaan tulisan itu tidak berbanding lurus dengan usia. Menurutku banyak juga orang muda secara usia tapi memiliki kebijaksanaan dalam tingkah lakunya. Sementara ada orang yang usianya pusaka tapi hidupnya tak kunjung selaras dengan alam semesta.
Pemikiran kali ini kututup dengan hipotesa, tulisan tangan yang aku impikan itu dapat tercapai olehku sebelum usia pusakam jika dan hanya jika aku secara konsisten, setiap hari, kapanpun di manapun, menorehkan dan mengabadikan hasil-hasil pemikiranku dengan tulisan tangan. Supaya emosiku dapat terlukiskan juga dari goresan-goresan itu, aku ingin mengurungkan niatku menulis menggunakan notebook canggih, tipis dan memiliki baterai tahan lama. Mengutip pendapat PK. Ojong, salah satu pendiri grup Kompas-Gramedia, mesin tik yang canggih sekalipun belum tentu melahirkan tulisan-tulisan yang berbobot. Dan jika JK. Rowling menuliskan masterpiece-nya dengan tulisan tangan yang kadang ditulis pada kertas bekas atau tissue, kenapa aku harus terus bermimpi menulis di kedai kopi gaul menggunakan notebook canggih? nyatanya aku bermimpi dengan cara yang salah. Aku tak kunjung menulis dan berkarya karena aku terus berharap dan membual bahwa aku akan menulis setelah aku memiliki notebook, atau setelah pc-ku selesai cuti.
Dan menurutku lagi, penulis itu bukan sebutan bagi orang yang karyanya telah diterbitkan. Tidak ada dimensi diterbitkan atau tidak bagi seorang penulis. Rasanya cukup jelas bawha penulis adalah orang yang menulis. Tak disebutkan apa yang harus ditulskan untuk menyandang predikat sebagai penulis. Tapi aku juga setuju bahwa tulisan-tulisan yang disimpan, yang akhirnya berdebu atau dimakan kutu, bukanlah suatu karya tulis. Karena 'dia' terlalu egois, dan tak memberikan kontribusi bagi siapapun.
Dengan hisapan rokok terakhir dan kaki yang kesemutan aku ingin mengungkapkan perasaanku, "Ketika hanya ada asap dan nyala api, salahkah menomerduakan kesehatan?"
Kebiasaan,
Setiap orang mungkin punya kebiasaan yang unik, sebagian lagi punya 'ritual' sendiri-sendiri. Kali ini adalah kali pertama aku memulai, kali pertama aku menulis sambil jongkok di atas kloset, untuk buang hajat tentunya, sambil ditemani sebatang rokok cigarilos. Mungkin terdengar aneh dan tak masuk akal, tapi aku yakin ada sebagian orang tahu benar bahwa ada hal-hal besar yang diciptakan di kamar mandi.
Aku sendiri belum pernah membaca buku renungan Kloset, hanya pernah mendengar bahwa buku itu bagus, dan memang isinya benar-benar ditemukan pada saat si penulis merenung di atas kloset. Kebiasaanku yang pertama kali ini memang tanpa perencanaan. Mengingat bahwa sebagian besar hal-hal yang kurencanakan dengan sempurna justru tak terlaksana, tapi nyaris gagal dengan sempurna.
Ini kali, aku punya pemikiran sebenarnya cukup sederhana. Semua orang pasti buang hajat. Rasanya tak perlu lagi kutuliskan seberapa penting buang hajat bagi setiap orang, tak perlu pula kusebutkan sederetan akibat-akibat yang mungkin muncul menggangu kesehatan, atau mengganggu momen-momen penting, apabila kita tidak membuang hajat setiap pagi secara teratur.
Untuk sebagian orang lagi, terutama untuk orang yang tidak pernah atau belum kecanduan merokok, pasti akan berpikir bahwa merokok sambil buang hajat adalah hal yang menjijikan. Akal sehat orang-orang tadi tak akan pernah bisa menerima kenikmatan itu, apanya yang nikmat sih menghirup racun plus bau tai sendiri? Aku yakin begitulah hasil pemikiran mereka.
Lagi-lagi untuk sebagian orang, pasti ada yang tak pernah bisa menerima bahwa membaca dan menulis itu nikmat. Mungkin orang-orang ini akan berpikir bahwa seseorang yang membaca buku dan memawanya ke mana-mana adalah orang yang rajin, kutu buku, terkucil dari pergaulan sosial karena orang itu lebih asik berkutat dengan dunianya sendiri, dunia buku dan orang yang membawa buku ke mana-mana adalah orang yang tak dapat menikmati indahnya hidup. Jauh dari kaum jet-set, jauh dari gemerlap lampu diskotik, jauh dari kedai kopi gaul, dan jauh dari sederetan minuman keras maca tequilla, red label, black label atau campagne.
Dulunya aku adalah salah satu dari sebagian orang yang mempertanyakan apa nikmatnya merokok, apa enaknya membaca koran atau buku, apalagi menulis. Tapi kini aku adalah perokok, pembaca koran, dan orang yang tergila-gila dengan buku. Aku yakin semua itu berawal dari hal kecil, satu kali, dua kali dan tak sadar apa yang aku lakukan itu sudah menjadi kebiasaan. Bagian yang tak terpisahkan dari diriku.
Memang awalnya aku keranjingan membaca memang gara-gara Kompas. Ibuku berulang kali menegaskan pentingnya membaca dan beliau menunjukkan keteladanan membacanya itu melalui membaca koran.
Dari situlah semenjak aku di jakarta, aku berlangganan koran Kompas. Awalnya kumulai sendiri kebiasaan itu, lalu beberapa orang rekan tertarik dan ikut berlangganan sampai sekarang. Ada yang konsisten, ada yang angin-anginan, hanya membayar iuran bila merasa membaca dan menolak membayar iuran dengan alasan pulang kampung. Aku sendiri tidak pernah absen membayar setiap bulan, terkadang dibagi 2, 3 atau berempat. Itupun seringkali aku yang menomboki. Adalagi yang punya kebiasaan ikut membaca tapi menolak membayar. Biasanya mereka curi-curi waktu baca pada saat aku bangun siang atau saat aku sedang tak berada di kos. Awalnya aku benci sekali terhadap orang-orang kere macam ini, rasa hormatku pada mereka kubunuh dengan cara tatapan sinis atau sindiran yang terkadang cukup menyakitkan untuk ukurang orang yang membaca koran tanpa permisi dan tanpa kesadaran bahwa koran itu ada berkat beberapa orang yang iuran setiap bulannya.
Begitulah, halaman utama Kompas, hampir setiap pagi, yang menemaniku buang hajat. Anak-anak kosku dan beberapa keluargaku pernah bertanya dan sampai sekarang seringkali mengeluhkan perihal waktu mandiku yang cukup lama, 1 jam. Aku hanya tertawa terkekeh dan menganggapinya dengan gurauan.
Tanpa alasan spesial, ritual membaca halam utama sambil buang hajat itu kugantikan dengan ritual menulis sambil buang hajat. Aku pikir apa salahnya pikiranku ini membuang 'hajat'nya sementara tubuhku juga membuang hajatnya. Aku sih tak sanggup mengajukan argumen-argumen bahwa memiliki kebiasaan membaca dan menulis. Aku hanya bisa bilang, buku dan tulis menulis telah membantuku dalam proses menjadi diriku sendiri.
Lalu aku ingin bicara juga tentang tulisan tangan. Lagi-lagi aku hanya pernah mendengar sepintas bahwa kepribadian seseorang bisa tercermin dari tulisan tangannya. Kuperhatikan goresan tanganku kananku dan kudapati tak ada yang sama. Kutebak hasil tulisan tanganku ini, kuhubung-hubungkan dengan kepribadianku. Ada satu hal yang kusadari, aku ini nggak konsisten, angin-anginan. Saat ini aku hanya ingin tulisan tangan yang indah, yang dapat membuat orang terpaku dan tak ragu-ragu melontarkan pujian, bukan hanya karena indahnya tulisan tanganku tapi juga isinya yang berbobot. Bolehlah aku memimpikan hal tulisan tangan itu dan sampai saat itu tercapai aku ingin menuliskan pemikiran-pemikiranku ini dengan tulisan tangan.
Kenapa tulisan tangan? nampaknya hal ini cukup menarik untuk kutuliskan. Aku jadi teringat dengan pemalsuan surat ijin tidak masuk sekolah yang dipalsukan oleh temanku, tapi terbongkar juga oleh wali kelasku. Samar-samar kuingat, wali kelasku waktu itu mengatakan goresan tulisan tangan anak-anak, termasuk di dalamnya berupa tanda tangan, pasti berbeda dengan goresan tangan hasil orang dewasa. Tulisan tangan orang dewasa menggambarkan kedewasaan dari orang dewasa. Tulisan tangan orang dewasa menggambarkan kedewasaan kepribadiannya juga, setiap goresan tak mencerminkan keraguan, tapi kekonsistenan, tak tercerminkan lagi kelabilan emosi atau gejolak jiwa perasaan anak muda.
Kedewasaan tulisan itu tidak berbanding lurus dengan usia. Menurutku banyak juga orang muda secara usia tapi memiliki kebijaksanaan dalam tingkah lakunya. Sementara ada orang yang usianya pusaka tapi hidupnya tak kunjung selaras dengan alam semesta.
Pemikiran kali ini kututup dengan hipotesa, tulisan tangan yang aku impikan itu dapat tercapai olehku sebelum usia pusakam jika dan hanya jika aku secara konsisten, setiap hari, kapanpun di manapun, menorehkan dan mengabadikan hasil-hasil pemikiranku dengan tulisan tangan. Supaya emosiku dapat terlukiskan juga dari goresan-goresan itu, aku ingin mengurungkan niatku menulis menggunakan notebook canggih, tipis dan memiliki baterai tahan lama. Mengutip pendapat PK. Ojong, salah satu pendiri grup Kompas-Gramedia, mesin tik yang canggih sekalipun belum tentu melahirkan tulisan-tulisan yang berbobot. Dan jika JK. Rowling menuliskan masterpiece-nya dengan tulisan tangan yang kadang ditulis pada kertas bekas atau tissue, kenapa aku harus terus bermimpi menulis di kedai kopi gaul menggunakan notebook canggih? nyatanya aku bermimpi dengan cara yang salah. Aku tak kunjung menulis dan berkarya karena aku terus berharap dan membual bahwa aku akan menulis setelah aku memiliki notebook, atau setelah pc-ku selesai cuti.
Dan menurutku lagi, penulis itu bukan sebutan bagi orang yang karyanya telah diterbitkan. Tidak ada dimensi diterbitkan atau tidak bagi seorang penulis. Rasanya cukup jelas bawha penulis adalah orang yang menulis. Tak disebutkan apa yang harus ditulskan untuk menyandang predikat sebagai penulis. Tapi aku juga setuju bahwa tulisan-tulisan yang disimpan, yang akhirnya berdebu atau dimakan kutu, bukanlah suatu karya tulis. Karena 'dia' terlalu egois, dan tak memberikan kontribusi bagi siapapun.
Dengan hisapan rokok terakhir dan kaki yang kesemutan aku ingin mengungkapkan perasaanku, "Ketika hanya ada asap dan nyala api, salahkah menomerduakan kesehatan?"
Post a Comment