tadi pagi, saat mau berangkat ke bank, saya melewati perempatan pojok beteng wetan. sudah beberapa hari ini saya memperhatikan penjual koran yang ada di situ. perempatan pojok beteng wetan memiliki banyak kenangan buat saya. salah satunya, saya waktu kecil, sempat punya impian untuk jadi loper koran atau tukang becak. iya, impian itu muncul di perempatan pojok beteng wetan.
agak aneh memang, impian saya itu muncul karena ada masa-masa dimana saya enggan sekali berangkat ke sekolah. saya yang defaultnya serius memiliki teman-teman yang berbeda tingkat bercandanya (baca: saya sering di bully). Lalu muncullah impian itu, bahwa saya ingin jadi loper koran, jadi saya nggak harus bangun pagi atau merasa menderita di sekolah. Impian itu muncul saat saya hampir setiap hari berangkat ke sekolah diantar becak langganan. Lalu, saya juga tergoda untuk jadi tukang becak, tentunya masih dengan alasan yang kurang lebih sama.
Yang menarik bagi saya tadi pagi, saat melihat si mas penjual koran yang (maaf) kakinya kurang sempurna. dia berdiri dengan bantuan dua kruk, kanan dan kiri. tangan kirinya memegang setumpukan koran. Tepatnya, saya kagum dengan pemandangan itu, kagum dengan perjuangan si mas. Saat kedua kakinya bukan menjadi kelebihan dalam hidupnya, dia justru harus bekerja, berdiri, sambil menjual koran.
Motor saya, sudah melewati si mas itu. kurang lebih sekitar 8-10 meter. hanya ada saya sendiri yang berhenti di lampu merah, kendaraan lain masih ada di belakang. Saya menengok kebelakang, lalu memanggil si mas menggunakan tangan kanan saya, memberi pertanda supaya si mas mendekat ke saya. Lalu saya memandang ke depan, memastikan bahwa lampu masih merah, agak lucu memang, padahal saya baru berhenti karena si lampu merah belum lama menyala. Setelah melihat kendaraan lain yang berjalan dari arah jalan parangtritis, saya kembali menengok ke belakang, memeriksa sudah sampai mana si mas tadi.
ternyata si mas masih di tempat semula. sayapun mengulang kembali usaha saya untuk memanggilnya. dalam hati saya bilang, sini lho saya mau beli tiga koran pagi ini. si mas masih belum beranjak. setelah gaya memanggil saya yang ketiga, dia justru melakukan hal yang sama, dia memanggil saya untuk mendekat, menggunakan tangan kanannya.
saya kaget dan baru sadar. saya terbuai oleh kekaguman perjuangannya tadi, saat kaki bukanlah menjadi kelebihan, dia justru kerja berdiri. saya langsung berkesimpulan, untuk orang dengan tingkat perjuangan seperti itu, jalan beberapa langkah seharusnya tidak jadi masalah. Saya salah. akhirnya, saya memutuskan memundurkan motor saya, menggunakan kaki.
saat sudah dekat, si mas terlihat sedang menjual satu koran ke bapak-bapak yang naik mobil kijang pikup berwarna merah, muatannya kosong, tapi saya melihat galon air yang kosong juga, ditaruh di kursi sebelahnya. setelah mereka selesai bertransaksi, saya bilang, "mas saya mau koran tempo, kr, dan harian jogja". dia mengulang pesanan saya, lalu mengambil pesanan saya dari tumpukan-tumpukan itu. "berapa semuanya mas?", si mas mencoba menghitung, "enam ribu"
Saya mengeluarkan satu lembar sepuluh ribu dari saku kanan celana saya. si mas tampak kesulitan mencari kembaliannya, karena dia juga harus merogoh uang kembalian dari saku celananya. saya merasa sedikit bodoh, lha kok ya tadi saya nggak ngasih uang pas saja.
sebelum saya menerima kembalian itu, ada bapak-bapak sedang naik motor bersama anaknya yang masih kecil. si anak berdiri di depan. saya menduga, dia juga kagum dengan perjuangan si mas penjual koran, karena tadinya dia mengendarai motornya agak di tengah, lalu mepet ke kanan, mendekati pembatas jalan dan si mas penjual koran.
saya kembali maju mendekati lampu merah, ketiga koran tadi saya pegang pakai tangan kiri sampai saya di bank. di perjalanan dari perempatan pojok beteng wetan sampai bank, pikiran saya melayang, saya ingat beberapa kali melakukan hal itu juga ditemani seseorang, darinya saya tau kalau ibunya juga memiliki kebiasaan yang sama, sekedar beli, belum tentu korannya dibaca. lokasinya di perempatan brimob, dekat mandala krida.
apakah itu apresiasi terhadap perjuangan si mas penjual koran, atau sekedar bukti bahwa kita masih manusiawi? sudahlah, saya hanya ingin menikmati tiga koran saya. selamat pagi.
agak aneh memang, impian saya itu muncul karena ada masa-masa dimana saya enggan sekali berangkat ke sekolah. saya yang defaultnya serius memiliki teman-teman yang berbeda tingkat bercandanya (baca: saya sering di bully). Lalu muncullah impian itu, bahwa saya ingin jadi loper koran, jadi saya nggak harus bangun pagi atau merasa menderita di sekolah. Impian itu muncul saat saya hampir setiap hari berangkat ke sekolah diantar becak langganan. Lalu, saya juga tergoda untuk jadi tukang becak, tentunya masih dengan alasan yang kurang lebih sama.
Yang menarik bagi saya tadi pagi, saat melihat si mas penjual koran yang (maaf) kakinya kurang sempurna. dia berdiri dengan bantuan dua kruk, kanan dan kiri. tangan kirinya memegang setumpukan koran. Tepatnya, saya kagum dengan pemandangan itu, kagum dengan perjuangan si mas. Saat kedua kakinya bukan menjadi kelebihan dalam hidupnya, dia justru harus bekerja, berdiri, sambil menjual koran.
Motor saya, sudah melewati si mas itu. kurang lebih sekitar 8-10 meter. hanya ada saya sendiri yang berhenti di lampu merah, kendaraan lain masih ada di belakang. Saya menengok kebelakang, lalu memanggil si mas menggunakan tangan kanan saya, memberi pertanda supaya si mas mendekat ke saya. Lalu saya memandang ke depan, memastikan bahwa lampu masih merah, agak lucu memang, padahal saya baru berhenti karena si lampu merah belum lama menyala. Setelah melihat kendaraan lain yang berjalan dari arah jalan parangtritis, saya kembali menengok ke belakang, memeriksa sudah sampai mana si mas tadi.
ternyata si mas masih di tempat semula. sayapun mengulang kembali usaha saya untuk memanggilnya. dalam hati saya bilang, sini lho saya mau beli tiga koran pagi ini. si mas masih belum beranjak. setelah gaya memanggil saya yang ketiga, dia justru melakukan hal yang sama, dia memanggil saya untuk mendekat, menggunakan tangan kanannya.
saya kaget dan baru sadar. saya terbuai oleh kekaguman perjuangannya tadi, saat kaki bukanlah menjadi kelebihan, dia justru kerja berdiri. saya langsung berkesimpulan, untuk orang dengan tingkat perjuangan seperti itu, jalan beberapa langkah seharusnya tidak jadi masalah. Saya salah. akhirnya, saya memutuskan memundurkan motor saya, menggunakan kaki.
saat sudah dekat, si mas terlihat sedang menjual satu koran ke bapak-bapak yang naik mobil kijang pikup berwarna merah, muatannya kosong, tapi saya melihat galon air yang kosong juga, ditaruh di kursi sebelahnya. setelah mereka selesai bertransaksi, saya bilang, "mas saya mau koran tempo, kr, dan harian jogja". dia mengulang pesanan saya, lalu mengambil pesanan saya dari tumpukan-tumpukan itu. "berapa semuanya mas?", si mas mencoba menghitung, "enam ribu"
Saya mengeluarkan satu lembar sepuluh ribu dari saku kanan celana saya. si mas tampak kesulitan mencari kembaliannya, karena dia juga harus merogoh uang kembalian dari saku celananya. saya merasa sedikit bodoh, lha kok ya tadi saya nggak ngasih uang pas saja.
sebelum saya menerima kembalian itu, ada bapak-bapak sedang naik motor bersama anaknya yang masih kecil. si anak berdiri di depan. saya menduga, dia juga kagum dengan perjuangan si mas penjual koran, karena tadinya dia mengendarai motornya agak di tengah, lalu mepet ke kanan, mendekati pembatas jalan dan si mas penjual koran.
saya kembali maju mendekati lampu merah, ketiga koran tadi saya pegang pakai tangan kiri sampai saya di bank. di perjalanan dari perempatan pojok beteng wetan sampai bank, pikiran saya melayang, saya ingat beberapa kali melakukan hal itu juga ditemani seseorang, darinya saya tau kalau ibunya juga memiliki kebiasaan yang sama, sekedar beli, belum tentu korannya dibaca. lokasinya di perempatan brimob, dekat mandala krida.
apakah itu apresiasi terhadap perjuangan si mas penjual koran, atau sekedar bukti bahwa kita masih manusiawi? sudahlah, saya hanya ingin menikmati tiga koran saya. selamat pagi.
Labels: mampir ngombe
Post a Comment