mencuci piring sesudah makan, terdengar rajin sekali bukan? Seolah-olah
kenyang sesudah makan itu lalu diiringi iklan dari sponsor utama.
Betul, sponsor utama itu adalah orang tua (baca: ibu saya), yg kedua karena tidak ada pembantu di jam-jam tertentu.
Saya pernah mengamati kondisi kejiwaan saya sendiri dengan variabel mencuci piring sesudah makan. Berikut hasilnya ...
Saat jam kerja, sudah pasti saya cuma membuang sisa makanan yg ada di piring ke tempat sampah tertutup, lalu meletakkan piring kotor tersebut di tempat cucian. Jiwa saya mengandalkan mbak ipah untuk mencucinya. Hati kecil saya berkata, sah-sah saja, lha kan jam kerja :p
Saat diluar jam kerja, saya akan langsung mencuci piring kotor jika dan hanya jika saya sedang rajin dan penuh kesadaran tidak ingin merepotkan anggota keluarga lain untuk mencuci piring kotor saya. Belakangan ini, saya lebih sering pada kondisi kejiwaan yang ini, entah deh, apakah mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, yang jelas saya masih banyak menunda dan jauh dari kata rajin.
Kemudian, tau lah ya, kalo lagi males pol. Piring kotor sebatas dibersihin aja sisa makanannya (dibuang ke tempat sampah) lalu ditaruh begitu saja di tempat cucian piring.
Mungkin terdengar simple dan sederhana, tapi dibalik kegiatan 'kecil' mencuci piring sesudah makan, saya bisa tau apakah energi saya sedang terkuras karena memikirkan sesuatu hal ataukah energi saya sedang berlimpah dan sedang tidak terbawa oleh pikiran-pikiran saya.
Lalu, apakah memulai kebiasaan mencuci piring itu harus menunggu momen yang pas, ideal, alias energi saya sedang berlebih?
Nampaknya justru kebalikannya. Saat sedang banyak mikir, supaya tidak tersesat dengan pikiran-pikiran kita, adakalanya badan harus bergerak lebih banyak supaya kita tidak terbawa dengan pikiran-pikiran kita sendiri.
Melatih pikiran, bukan melulu bisa mengendalikan pikiran apa yang muncul. Bagian yang terpenting menurut saya adalah ya itu tadi, supaya kita tidak dihempaskan oleh pikiran-pikiran kita sendiri ke lautan kegelisahan, keraguan, ketidakpuasan, dan ketidakpastian.
Ada kalanya, saat kita berpikir 'ah nanti saja nyuci piringnya, toh cuma satu' maka kenyataan akan berujung pada piring kotor numpuk,lalu tumpukannya semakin tinggi, dan dengan kondisi kejiwaan kita yang masih sama (yaitu belum ideal), kemungkinan tumpukan piring-piring kotor itu tadi untuk dicuci menjadi semakin kecil.
Mungkin akan terdengar terlalu berlebihan bila kita bisa menempa jiwa kita supaya tidak menjadi jiwa yang banyak menunda dengan cara mencuci piring sesudah makan, tapi setidaknya kita tidak 'memuaskan' atau 'mendidik' jiwa malas kita dengan menunda mencuci piring.
Betul, sponsor utama itu adalah orang tua (baca: ibu saya), yg kedua karena tidak ada pembantu di jam-jam tertentu.
Saya pernah mengamati kondisi kejiwaan saya sendiri dengan variabel mencuci piring sesudah makan. Berikut hasilnya ...
Saat jam kerja, sudah pasti saya cuma membuang sisa makanan yg ada di piring ke tempat sampah tertutup, lalu meletakkan piring kotor tersebut di tempat cucian. Jiwa saya mengandalkan mbak ipah untuk mencucinya. Hati kecil saya berkata, sah-sah saja, lha kan jam kerja :p
Saat diluar jam kerja, saya akan langsung mencuci piring kotor jika dan hanya jika saya sedang rajin dan penuh kesadaran tidak ingin merepotkan anggota keluarga lain untuk mencuci piring kotor saya. Belakangan ini, saya lebih sering pada kondisi kejiwaan yang ini, entah deh, apakah mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, yang jelas saya masih banyak menunda dan jauh dari kata rajin.
Kemudian, tau lah ya, kalo lagi males pol. Piring kotor sebatas dibersihin aja sisa makanannya (dibuang ke tempat sampah) lalu ditaruh begitu saja di tempat cucian piring.
Mungkin terdengar simple dan sederhana, tapi dibalik kegiatan 'kecil' mencuci piring sesudah makan, saya bisa tau apakah energi saya sedang terkuras karena memikirkan sesuatu hal ataukah energi saya sedang berlimpah dan sedang tidak terbawa oleh pikiran-pikiran saya.
Lalu, apakah memulai kebiasaan mencuci piring itu harus menunggu momen yang pas, ideal, alias energi saya sedang berlebih?
Nampaknya justru kebalikannya. Saat sedang banyak mikir, supaya tidak tersesat dengan pikiran-pikiran kita, adakalanya badan harus bergerak lebih banyak supaya kita tidak terbawa dengan pikiran-pikiran kita sendiri.
Melatih pikiran, bukan melulu bisa mengendalikan pikiran apa yang muncul. Bagian yang terpenting menurut saya adalah ya itu tadi, supaya kita tidak dihempaskan oleh pikiran-pikiran kita sendiri ke lautan kegelisahan, keraguan, ketidakpuasan, dan ketidakpastian.
Ada kalanya, saat kita berpikir 'ah nanti saja nyuci piringnya, toh cuma satu' maka kenyataan akan berujung pada piring kotor numpuk,lalu tumpukannya semakin tinggi, dan dengan kondisi kejiwaan kita yang masih sama (yaitu belum ideal), kemungkinan tumpukan piring-piring kotor itu tadi untuk dicuci menjadi semakin kecil.
Mungkin akan terdengar terlalu berlebihan bila kita bisa menempa jiwa kita supaya tidak menjadi jiwa yang banyak menunda dengan cara mencuci piring sesudah makan, tapi setidaknya kita tidak 'memuaskan' atau 'mendidik' jiwa malas kita dengan menunda mencuci piring.
Labels: mampir ngombe
Post a Comment