Ujian sebenarnya,
tak terasa, 3,5 tahun sudah aku berada di ibukota. Selama itu pula aku menyandang atribut
sebagai mahasiswa universitas bina nusantara. Masih teringat jelas, open house di semarang,
USM di loyola, bolak-balik semarang jogja untuk urusan administrasi, maraknya hari-hari POM,
dan perbincangan hangat antar sesama anak baru. Buatku pengalaman selanjutnyalah yang
menjadi turning point sehingga aku gemar membeli buku, menikmati obrolan dengan orang lain,
dan menulis pemikiran-pemikiranku yang terkadang liar, penuh sampah, sampai tulisan-tulisan
yang mampu membuat orang lain ikut memikirkan apa yang aku tulis, kemudian mencari maknanya
sendiri-sendiri. Pengalaman itu adalah pengalaman berorganisasi, pengalaman baru yang belum
pernah aku dapatkan selama karirku yang cenderung pas-pasan di dunia akademis. Organisasi
itu bernama Bina Nusantara Computer Club, disingkat BNCC.

Masa-masa hijau menjadi anggota biasa, aktivis, pengurus dan kemudian dipercaya menjadi
salah satu ketua, bisa jadi akan menghantui, menginspirasi, memotivasi, dan terus menerangi
hari-hariku selepas 3,5 tahun ini. Sementara bagi mahasiswa umumnya yang jauh dari kehidupan
organisasi, masa-masa skripsi mulai dari pemilihan anggota team, pemilihan topik, penyusunan
skripsi, ujian pendadaran, revisi, dan penyusunan hardcover beserta segala urusan
administratif lainnya, pasti menjadi pelangi perasaan yang tak akan mudah dilupakan.

Tentang nilai skripsi juga banyak diperbincangkan. Seolah-olah, kalau nilainya bukan A, maka
berarti musnah sudah cerita-cerita kehebatan skripsi itu sendiri, berarti orang itu nggak
begitu jago, berarti orang itu hanya kebanyakan ngomong yang nggak berbobot, berarti waktu
ngerjain skripsi itu nggak kerja keras..berarti..berarti...dan segala berarti lainnya.

menurutku ujian sebenarnya itu bukan pada saat sidang skripsi, tapi gimana kita njalanin
proses itu, bukan cuman proses penyusunan skripsi, tapi juga proses kita menjalani kuliah
sehari-hari. Nilainya bukan 3 abjad pertama, A, B, atau C, nilainya nggak bisa digambarkan
dengan itu. Nilainya ya seberapa banyak orang itu memahami dirinya sendiri, seberapa banyak
dia bisa ngerti perasaan-perasaannya, gimana caranya dia bisa memahami orang lain, apa
rencana dia ke depan, apakah dia sudah ikutan berjuang untuk mengubah suasana di
keluarganya, apakah dia menyadari sesuatu?

menurutku lagi itu lebih penting, daripada nilai mata kuliah skripsi itu. Memang, beberapa
orang nggak mikir kayak gitu. Tapi gini, orang yang dapet A, pasti jadi lebih PD. Sementara
orang yang dapet nilai B, atau C, biasanya kecewa kalau udah ngerjain bener-bener, sementara
yang ngerjain asal-asalan atau bahkan nggak pernah ngerjain tapi lulus dan dapet C wuaduhh
udah kayak dapet rejeki dari langit!
Permasalahan berikutnya adalah, gimana caranya orang yang kecewa dapet B, atau C itu bisa menerima, dan memahami. Kalau sampai sekarang belum bisa menerima, maka orang ini bakalan terbawa-bawa arus kekecewaan, dan potensinya nggak akan bisa keluar semua, karena terus
menerus dihantui oleh perasaan bahwa dirinya bodoh, dirinya nggak lebih dari yang lain,
bahwa dirinya kalah dari orang lain, bahwa dirinya adalah orang yang nggak berarti.

aku sendiri dapet B, jujur ada kekecewaan yang mendalam ketika nilai itu dikumandangkan.
Lalu pikiran nakal ini mulai mencari kenapa sebab kok nggak bisa dapet A? muncullah seribu
alasan seperti, penguji nggak ngerti apa yang kita bikin, penulisannya sangat-sangat kurang
sekali, komunikasi sesama rekan team kurang bagus, kebanyakan berantem, karena nggak biasa
menghadapi penolakan idealisme, karena nggak biasa ngomong secara ilmiah, karena nggak bisa
bagi waktu, karena nggak serius ngerjain, karena nggampangin, karena..karena dan karena...untungnya, kesadaran itu muncul. Bahwa aku nggak boleh terjerumus. Bahwa sekarang aku sudah
sarjana, bahwa sekarang saatnya aku berkarya buat orang banyak, bahwa bukan nilai yang
penting tapi perjuangan yang sebenarnya adalah gimana dunia bisa mengenal seorang yang
namanya Handoko Wiyanto, dikenal baik karena kelebihannya, tanpa menyangkal bahwa ada
kekurangan-kekurangan yang dimilikinya.

gitu, jadi kalo udah jadi sarjana pun, tapi bingung mau kerja apa dan di mana, ya selamat
mengkoreksi diri, 3,5 tahun itu gimana kok bisa lewat gitu aja. Tapi tenang, bukan kiamat,
dan justru jangan jadi bahan pikiran terus menerus, nikmati aja, dan jangan lupa ketawa,
karena ini bagian yang paling penting.Orang yang nggak sarjana, tapi kalo dia tiap kali ngerjain sesuatu pake hati, ada gairah orang itu yang tertuang dalam pekerjaannya, maka tinggal masalah waktu. Aku pikir, kita mau
jadi apa itu karena pilihan, dan kesetiaan, sejauh mana mau setia dengan bidang yang kita
geluti itu. Dan sampai pada saat itulah kita dikenal orang.
Selamat menjadi sarjana!