Tau nggak sih rasanya punya temen orang terkenal, yah minimal aku sih bakalan punya satu, namanya Wisnu, temen sma waktu di debritto dulu, sekarang dia ikut Indonesian Idol. Kabar ini bukan barusan aku denger, sudah jauh-jauh hari, semenjak ramai-ramainya reality show yang sejenis marak diperbincangkan dan jadi fenomena tersendiri di masyarakat. Aku pun bukan juga barusan tau, aku tau jauh-jauh hari, semenjak ya saling tahu aja, soalnya waktu itu hobinya agak unik, sekolah laki semua, tapi dia punya hobi nyanyi. Mungkin bukan cuman aku aja waktu itu yang bakalan sedikit menahan tawa, begitu denger kalo ada anak de britto, yang terkenal karena kebrutalannya, tapi hobinya ikut paduan suara sana sini. Tapi waktu itu aku udah denger juga, kalo orang ini punya suara yang bagus. Tapi waktu itu pun, aku nggak terlalu naroh perhatian sama orang satu ini.
Kita berdua, kalo boleh aku statementkan begitu, bukan sahabat, yah mungkin sekedar tau, aku tau kalo dia hoby nyanyi, dan dia tau kalo aku anak nakal, dulu. Kita berdua, hidup di dunia yang beda, tapi sama-sama punya fans, dia punya fans karena suaranya itu, dan aku karena kenakalanku, katanya sih wanita tuh butuh rasa aman, dan waktu itu juga katanya aku bisa memberikan rasa aman itu. Ah, mungkin aku terlalu berlebihan, membandingkan dia dan diriku sendiri. Tapi memang itulah yang terjadi malam ini.
Baru malam ini, baru kali ini, aku secara langsung ngeliat temen sma-ku yang satu itu, beraksi di atas panggung. Ada perasaan asing yang keluar dari dalam diriku. Bukan, bukan iri. Tapi aku menggugat kembali impian-impianku. Apakah rencana masa depanku, lengkap dengan profesi pilihanku, adalah sesuatu yang memang diriku. Adalah sesuatu yang memang hatiku ada di situ. Sama kayak si Wisnu tadi, hatinya emang ada di nyanyi, dan dia komit di situ, liat aja hasilnya, kalian yang nonton Indonesian Idol malam ini pasti tau kan? Juri aja sepakat, kalo dia malam ini, adalah kontestan terbaik.
Ya, gitu, aku naik banding, atas rencana-rencana yang sudah aku bikin tentang masa depan, lengkap dengan pilihan profesiku, dan segenap resiko-resikonya. Aku jadi melan, kubawa jazz hitam keliling jogja. Lagu peterpan pun, kali ini, tak sanggup membuatku bersenandung, apalagi bernyanyi. Lengkap satu album, dan selama itu jualah, pikiranku meloncat-loncat dalam irama tertentu, seolah-olah aku menyanyi dalam pikiranku.
Tak kuteruskan berlarut-larut, aku sadar perasaan jiwaku sedang berombak. Hasil perenunganku yaitu, aku sadar bahwa pilihan yang aku buat, lengkap dengan pilihan profesiku, dan segenap resiko-resikonya, memang jauh dari popularitas. Yah, komitmenku sudah bulat, bahwa sebagian waktuku akan kudedikasikan pada pendidikan bangsa ini. Sisanya mungkin pada elektronika, bisnis keluarga, dan mungkin kekuatan kata-kata.
Lengkap diiringi satu album itu, aku terpana pada ketidakberdayaanku melawan runtuhnya sendi-sendi kepercayaan diriku, salah satunya dalam hal nyanyi. Memang suaraku mungkin bukan konsumsi orang banyak, bukan, bukan itu tujuanku nyanyi. Aku nyanyi untuk menggambarkan suasana hatiku, apalagi pas ketemu lagu yang rasa-rasanya pass sama suasana hati, bisa-bisa lagu itu terus yang aku puter di winamp. Sampai orang-orang disekitarku geleng-geleng kepala dan lama-lama ikut menyenandungkan lagu yang aku nyanyikan tadi, bukan karena suara emasku, tapi karena lagu yang aku nyanyikan ya itu-itu aja hahahah...
Lega rasanya, pikiran ini bisa dikontrol lagi, berkat tawa, berkat berani menertawai diri sendiri. Yah, gini aku nggak ragu lagi buat nyanyi, meskipun suaraku nggak seindah penyanyi manapun di dunia ini, minimal aku nyanyi dari dalam hati, untuk menggambarkan emosi, bukan untuk berkompetisi. Tadi aku benar-benar terpana, dan merasa nggak berguna, merasa diri ini dipenuhi omong kosong yang nggak ada bukti nyata, berkaitan dengan rencana masa depanku, lengkap dengan pilihan profesiku, dan segala resiko-resikonya. Seringkali, bukan hanya sekali, aku mengalami kemunduran, tatkala kutemui orang yang punya kemampuan lebih, dalam bidang apapun, dan bidang ini pun aku geluti, ada yang secara serius, ada yang hanya selingkuh satu dua kali, adalagi bidang yang hanya sebagai penyedap rasa. Kemunduran itu sering berbuntut ejakulasi dini pernyataan bahwa aku akan mundur dari bidang itu, entah seberapa tinggi level keseriusannya, karena ya itu, merasa nggak berguna, merasa nggak sebaik orang yang aku lihat itu.
Kala menghadapi kemelut perasaan itu, biasanya kurangkul erat gitarku, ditemani sebatang dua batang rokok, dan kudendangkan lagu-lagu yang bisa kunyanyikan, karena dulu aku makan dan beli rokok dari lagu itu, dan gitar itu. Biasanya juga, kuhabiskan dengan memacu motorku cepat, cepat sekali, tak tahu siapa yang duluan sampai batas, batas kecepatan motorku, atau batas keberanianku yang diiringi dengan naiknya adrenalin dan degupan jantungku. Atau aku mencari dunia yang memang di situ bidangku, di situ aku punya fans kecil-kecilan, di bidang itu aku dikenal, yah aku menulis. Seperti malam ini, kutuliskan perasaanku itu.
Aku sadar, aku haus pengakuan, haus pujian atas apa yang aku lakukan. Enaknya temenku itu ya dia langsung dapet komentar setelah dia nyanyi. Sementara, sikapku setiap hari, di manapun, itulah yang dikomentari orang-orang, setiap hari di manapun aku berada. Seringkali juga komentar itu dipendam dalam hati mereka dan pada saat yang bersamaan, pikiranku menari-nari, bertanya, apa gerangan yang ada di pikiran mereka, apa gerangan yang mereka pikirkan tentang aku?
Aku hampir kehilangan tawaku, bahaya, aku tak mau terhanyut lagi. Sebaiknya kusudahi saja perenunganku malam ini.
Nb: Buat Wisnu, gudlak ya, mungkin kamu bahkan nggak tau, tulisan di atas ada karena kamu, saat aku melihatmu di atas panggung, aku yakin suatu saat kau akan jadi penyanyi yang hebat, karena usaha dan hatimu.
Kita berdua, kalo boleh aku statementkan begitu, bukan sahabat, yah mungkin sekedar tau, aku tau kalo dia hoby nyanyi, dan dia tau kalo aku anak nakal, dulu. Kita berdua, hidup di dunia yang beda, tapi sama-sama punya fans, dia punya fans karena suaranya itu, dan aku karena kenakalanku, katanya sih wanita tuh butuh rasa aman, dan waktu itu juga katanya aku bisa memberikan rasa aman itu. Ah, mungkin aku terlalu berlebihan, membandingkan dia dan diriku sendiri. Tapi memang itulah yang terjadi malam ini.
Baru malam ini, baru kali ini, aku secara langsung ngeliat temen sma-ku yang satu itu, beraksi di atas panggung. Ada perasaan asing yang keluar dari dalam diriku. Bukan, bukan iri. Tapi aku menggugat kembali impian-impianku. Apakah rencana masa depanku, lengkap dengan profesi pilihanku, adalah sesuatu yang memang diriku. Adalah sesuatu yang memang hatiku ada di situ. Sama kayak si Wisnu tadi, hatinya emang ada di nyanyi, dan dia komit di situ, liat aja hasilnya, kalian yang nonton Indonesian Idol malam ini pasti tau kan? Juri aja sepakat, kalo dia malam ini, adalah kontestan terbaik.
Ya, gitu, aku naik banding, atas rencana-rencana yang sudah aku bikin tentang masa depan, lengkap dengan pilihan profesiku, dan segenap resiko-resikonya. Aku jadi melan, kubawa jazz hitam keliling jogja. Lagu peterpan pun, kali ini, tak sanggup membuatku bersenandung, apalagi bernyanyi. Lengkap satu album, dan selama itu jualah, pikiranku meloncat-loncat dalam irama tertentu, seolah-olah aku menyanyi dalam pikiranku.
Tak kuteruskan berlarut-larut, aku sadar perasaan jiwaku sedang berombak. Hasil perenunganku yaitu, aku sadar bahwa pilihan yang aku buat, lengkap dengan pilihan profesiku, dan segenap resiko-resikonya, memang jauh dari popularitas. Yah, komitmenku sudah bulat, bahwa sebagian waktuku akan kudedikasikan pada pendidikan bangsa ini. Sisanya mungkin pada elektronika, bisnis keluarga, dan mungkin kekuatan kata-kata.
Lengkap diiringi satu album itu, aku terpana pada ketidakberdayaanku melawan runtuhnya sendi-sendi kepercayaan diriku, salah satunya dalam hal nyanyi. Memang suaraku mungkin bukan konsumsi orang banyak, bukan, bukan itu tujuanku nyanyi. Aku nyanyi untuk menggambarkan suasana hatiku, apalagi pas ketemu lagu yang rasa-rasanya pass sama suasana hati, bisa-bisa lagu itu terus yang aku puter di winamp. Sampai orang-orang disekitarku geleng-geleng kepala dan lama-lama ikut menyenandungkan lagu yang aku nyanyikan tadi, bukan karena suara emasku, tapi karena lagu yang aku nyanyikan ya itu-itu aja hahahah...
Lega rasanya, pikiran ini bisa dikontrol lagi, berkat tawa, berkat berani menertawai diri sendiri. Yah, gini aku nggak ragu lagi buat nyanyi, meskipun suaraku nggak seindah penyanyi manapun di dunia ini, minimal aku nyanyi dari dalam hati, untuk menggambarkan emosi, bukan untuk berkompetisi. Tadi aku benar-benar terpana, dan merasa nggak berguna, merasa diri ini dipenuhi omong kosong yang nggak ada bukti nyata, berkaitan dengan rencana masa depanku, lengkap dengan pilihan profesiku, dan segala resiko-resikonya. Seringkali, bukan hanya sekali, aku mengalami kemunduran, tatkala kutemui orang yang punya kemampuan lebih, dalam bidang apapun, dan bidang ini pun aku geluti, ada yang secara serius, ada yang hanya selingkuh satu dua kali, adalagi bidang yang hanya sebagai penyedap rasa. Kemunduran itu sering berbuntut ejakulasi dini pernyataan bahwa aku akan mundur dari bidang itu, entah seberapa tinggi level keseriusannya, karena ya itu, merasa nggak berguna, merasa nggak sebaik orang yang aku lihat itu.
Kala menghadapi kemelut perasaan itu, biasanya kurangkul erat gitarku, ditemani sebatang dua batang rokok, dan kudendangkan lagu-lagu yang bisa kunyanyikan, karena dulu aku makan dan beli rokok dari lagu itu, dan gitar itu. Biasanya juga, kuhabiskan dengan memacu motorku cepat, cepat sekali, tak tahu siapa yang duluan sampai batas, batas kecepatan motorku, atau batas keberanianku yang diiringi dengan naiknya adrenalin dan degupan jantungku. Atau aku mencari dunia yang memang di situ bidangku, di situ aku punya fans kecil-kecilan, di bidang itu aku dikenal, yah aku menulis. Seperti malam ini, kutuliskan perasaanku itu.
Aku sadar, aku haus pengakuan, haus pujian atas apa yang aku lakukan. Enaknya temenku itu ya dia langsung dapet komentar setelah dia nyanyi. Sementara, sikapku setiap hari, di manapun, itulah yang dikomentari orang-orang, setiap hari di manapun aku berada. Seringkali juga komentar itu dipendam dalam hati mereka dan pada saat yang bersamaan, pikiranku menari-nari, bertanya, apa gerangan yang ada di pikiran mereka, apa gerangan yang mereka pikirkan tentang aku?
Aku hampir kehilangan tawaku, bahaya, aku tak mau terhanyut lagi. Sebaiknya kusudahi saja perenunganku malam ini.
Nb: Buat Wisnu, gudlak ya, mungkin kamu bahkan nggak tau, tulisan di atas ada karena kamu, saat aku melihatmu di atas panggung, aku yakin suatu saat kau akan jadi penyanyi yang hebat, karena usaha dan hatimu.
Post a Comment