Kemaren bilang, nggak usah ke sini sampe hari senin ya. Ternyata cuman terpaut satu hari, dia dateng dan nampaknya hubungannya baik-baik aja. Jadi jangan ambil keputusan pada saat emosi....

aku bingung mau nulis apa, sama dengan kebingungan yang aku dapat di atas. Nampaknya belakangan ini aku lebih terhanyut pada momen-momen sekelebat tentang apa yang ingin aku tulis, tanpa kutulis betulan. Berandai-andai orang bakal baca, dan emosinya berubah. Hatinya bergejolak.Mungkin aku belum menulis dengan tujuan membangun bangsa dan membentuk karakternya. Aku masih angin-anginan. Kadang dalam sehari bisa nulis beberapa kali, tapi lebih sering absen beberapa minggu, trus baru nulis lagi.

Ternyata ada juga perasaan lega, setelah dengan berat hati mengambil keputusan untuk melepas salah satu tanggung jawab. Bukan sepenuhnya melepas, tapi menunda. Sekarang aku ingin konsen ke skripsi dulu. Menulis secara ilmiah. AKu tunda kelas ketigaku. Aku tunda editanku, dan aku tunda soal-soalku.

Aku pikir semua orang pasti suka punya banyak sahabat. Terlalu jahat untuk membandingkan sahabat dengan koleksi mp3 yang ada di hardisk. Saat ingin dengar musik jazz, tinggal buka winamp, Shift+L, dan pilih foldernya. Tiba-tiba pengen denger lagu yang mellow. maka tinggal tekan Ctrl+Shift+End, lalu Shift+L lagi. Kalo lagi pengen sama sahabat yang mana, ya dateng aja, spent time bareng mereka. Tiba-tiba pengen ke tempat lain ya tinggal pergi aja.

Mungkin ada hubungannya antara manusia yang masih berpindah-pindah tempat, dengan manusia yang menetap. Menurut disiplin ilmu sejarah, manusia yang menetap cenderung memiliki budaya yang lebih maju. Apakah teori ini berlaku buat masalah sahabat tadi ya?

aku pernah dikasih tau, dan diminta berhati-hati dengan diriku yang mudah dekat dengan orang lain, dan mudah beradaptasi. Bisa jadi aku salah pergaulan. Bisa jadi aku terjebak cinta lokasi. Bisa jadi aku nggak punya pendirian, dan terbawa arus ke sana ke sini, dengan segudang aktifitas, tanpa tau apa gunanya.

Ketika aku mengajukan pertanyaan "Pernah nggak sih waktu kalian dalam posisi menjalin komitmen dengan seseorang, ternyata kalian ketemu dengan orang yang lebih perhatian dari pasangan?" hampir semua orang berasumsi, wah si endoch lagi suka sama cewek lain selain pacarnya, atau pacarnya lagi suka sama orang lain. Secepat itukah orang mengambil kesimpulan? Nampaknya pendidikan akademis tidak mengajarkan langkah-langkah mengambil kesimpulan yang tepat.

ketika kata menjadi kalimat, semua orang belum tentu punya asumsi yang sama. ketika dihadapkan pada angka 26, benakku terkait dengan skripsi, yah itu tanggal pengumpulan softcover skripsi. Padahal masih banyak nuansa lain. Nuansa lain itu benar, hanya saja saat ini perasaan mengenai softcover tadilah yang mengikat kuat makna angka 26.

Nampaknya aku kebanyakan tidur. Akibatnya aku mudah cemas, gelisah, dan cenderung ingin menyenangkan hati orang-orang di mana aku berada. Aku terkena wabah penyakit. Disease to please. Aku lebih asik terhanyut dengan permasalahan orang lain, dan tertarik untuk mengatasinya, berbuat sesuatu yang mungkin berarti daripada berani menghadapi tantangan-tantanganku sendiri.

Aku belum punya keberanian untuk menghadapi stres. Aku lebih memilih menghindari apa yang nggak enak, apa yang berat, dan apa yang menyakitkan. Aku lebih 'pewe' pada kenikmatan sesaat, nonton felm, main game, menghabiskan waktu dengan ngobrol. Sementara yang aku obrolkan adalah tentang ilusi stresku. Pantas saja tak satu halpun ada yang selesai, atau minimal berjalan sesuai target. Karena memang aku nggak mengerjakan sesuatu yang mengarah ke situ. Karena memang aku nggak pernah bikin target yang jelas.

Sempat aku berburu buku tentang time management, fokus, first thing first, kebiasaan yang efektif, dan segudang bacaan yang menawarkan solusi instant. Sampai-sampai bacaan itu menimbulkan arus balik yang lebih dahsyat lagi. Kepala ini dipenuhi teori-teori mengenai sebaiknya begini..sebaiknya begitu..sebaiknya...
Anjing! pikirku.

Jadi peperangan itu selama ini hanya ada di pikiran. AKu ingin memindahkannya, ke tangan, atau ke hati. Aku harap aku bisa melakukannya dengan tulisan. Aku harap kali ini aku tidak terjebak pada metode-metode instant, atau terjebak pada pencarian metode mana yang paling baik, sementara aku tidak mengambil tindakan apapun. Hanya mencari dan mencari.

Kuubah skin winamp jadi Varsity, kali ini aku Ctrl+Shift+Del sekumpulan lagu-lagu indo. Aku tekan L, dan memilih Tohpati-Sendiri. Aku tuh melankolis. Aku lupa definisi yang tepat untuk melankolis itu apa. Pada selesai makan, aku harus mengatur agar piring, dan sisa makananku tampak indah, teratur. Pada saat listrik sering mati, aku membeli lilin, beda dengan lilin putih biasa. Pacarku sudah berteori, kalau-kalau lilin itu nggak bakalan dipakai, karena sayang. Teori itu ternyata betul.

Melankolis itu seharusnya lebih menikmati perasaan. bukan serba takut, dan berprasangka buruk.

pernyataan "wah kalo endoch ngirim buat chichken soup for the soul-nya Indonesia, pasti masuk deh", atau "Coba waktu itu kamu ikut lomba nulisnya, pasti kamu menang" pernah juga "kamu tuh bisa menuliskan sesuatu yang tadinya simple jadi panjang, tapi tetep enak buat dibaca" adalagi"endoch kalo nulis itu bikin kerangka dulu nggak sih, kok kayanya sama kayak baca kompas ya, tulisannya bisa mengalir gitu..."

mungkin pernyatan-pernyataan di atas bukan berupa hipotesa yang harus diuji kebenarannya. Mungkin juga itu hasil dari penarikan kesimpulan yang terlalu cepat.

pernah juga ada pertanyaan"kok yang ngisi shoutbox kamu isinya orang-orang itu aja sih?"atau"Ah masak di friendster kamu cuman dapet 200an..temen, dan beberapa biji testi?"ada juga"dapet sms berapa banyak waktu ultah kemaren?"

atau ada juga pernyataan terkaget-kaget seperti"Hah, masak sih, ternyata endoch kalo pacaran kayak gitu yaa, padahal aku pikir dia tuh orangnya pengertian, dewasa..." trus dikemudian hari kalo ketemu aku, tatapan matanya jadi aneh. Mereka pikir aku nggak tau, padahal aku tau kalo mereka tau dan menganggap aku nggak tau. Seolah-olah, bangunan kokoh tentang aku yang tadinya bijaksana, tinggal puing-puing belaka.

Aku matikan lampu kamarku dan kunyalakan lilin itu. Kunyalakan dua dari empat. Setelah kuamati, lilin yang baru nyala apinya kadang lebih besar dan bergerak-gerak. Mungkin karena lilin yang mencair masih banyak. Lama-kelamaan lilin yang mencair itu lenyap. Dan nyala lilin itu menjadi lebih stabil.

waktu aku masuk suatu lingkungan yang baru, aku merasa wah dan penuh semangat. Waktu aku dapet statement pujian itu, hatiku berbunga-bunga. Waktu kudapat pernyataan yang melecehkan, hatiku bergejolak. Mungkin itu karena aku baru saja menyala, dan bagian yang mencair itu masih ada.

Aku ingin mencari kebenaran sejati, bukan pengkotak-kotakan semu. Aku tau, aku akan lebih stabil dan tidak akan menjawab pertanyaan "Apa itu melankolis?", tapi aku lebih memahami perasaan dan pemikiranku serta dapat menyikapi ejakulasi dini kesimpulan dan pernyataan yang ditujukan padaku.

Aku matikan lilin merah dan hijau muda. Akan kunyalakan lagi ketika aku ingin melihat gejolak itu...