bagi waktu?
Aku pikir cuman segelintir orang aja yang bener-bener bisa fokus memanfaatkan waktunya, sementara sebagian besar harus bersahabat akrab dengan keluhan, bahkan statement "kok sehari cuman ada 24 jam ya?"
Aku sendiri termasuk golongan yang kedua. Meskipun beberapa sahabatku, mengkategorikan aku masuk kedalam golongan pertama. Bingung, lalu kutanya indikatornya apa, jawabnya ya karena aku kerja ini itu (skripsi, ngajar, ngedit dan bikin soal). Alamakk pikirku, betapa tidak akuratnya indikator itu.
Aku pikir bukan masalah 24 jam-nya, bukan masalah seberapa banyak kerjaan, tapi apa yang penting buat kita. Kalo kita sendiri udah bisa mendefinisikan dengan baik, mana yang penting buat kita, mana yang jadi prioritas, maka kegiatan lain akan mengalir dengan sendirinya.
Klise yah? itung-itung sedikit menghibur diri lahh...
Orang luar cuman liat, oh program skripsi nya kan udah kelar jadi skripsinya udah pasti beress lahh. Atau, wah ndok kan udah jago nulis, jadi harusnya ngedit dan bikin soal mah kecill..
Adalagi yang komentar, ala..si ndok kan udah jago persentasi...ngajar mah simplee...
Andai memang segampang itu, mungkin tiap hari aku nggak akan terbelenggu sama kerjaan. Bahkan liburan ini, bukan bener-bener liburan, karena aku masih mikirin...ya sederetan deadline, dan gado-gado kebingungan plus sambel ketakutan.
Udah tau beberapa tips biar bisa fokus sama apa yang mesti dikerjain hari ini, udah tau kalo mesti bikin planning mingguan, bulanan, bahkan taunan. Udah tau kalo mesti bikin skala prioritas. Tapi ya itu, pelaksanaannya nggak segampang itu. Aku yakin semua setuju.
Lama aku mencari jawaban, gimana cara paling bagus membagi waktu. Mulai dari baca buku, tanya orang sana-sini, toh kalo udah bisa mbagi waktu secara ideal, kita dihadapkan pada suatu hal yang lain. Motivasi buat ngelakuin jadwal ideal itu ada apa nggak?
Mata rantai itu nggak terputus sampai di situ aja, aku kembali mencari apa itu motivasi sejati. kira-kira apa ya yang bisa bikin orang itu tiap hari semangat, ulet, punya kegigihan. Kembali misi pencarian itu di mulai, dan hasilnya hampir nihil.
Lalu aku diturunkan kembali di persimpangan, aku harus memilih, aku disadarkan, aku nggak bakalan bisa memiliki semuanya, aku nggak bakalan bisa dapetin semuanya. Sementara sebagian kecil dari masyarakat ini mulai menggembor-gemborkan metode khusus untuk memprogram otak sesuai dengan yang kita mau. Artinya ya, kita akan jadi orang kayak apa, tergantung diri kita ini gimana bikin programnya, gimana kasih input yang bener setiap hari. Lagi-lagi aku harus mencari jawaban, untuk apa sih hidupku ini?
Sementara aku duduk di persimpangan dan belum memilih mana jalan yang akan aku tempuh, orang yang kebetulan lewat di persimpangan itu menasehati "bikin saja jalanmu sendiri!" Sszzp...seolah-olah aku bangun dari tidurku di persimpangan itu. Aku sadar, terlalu lama aku berhenti di persimpangan itu. Sementara orang lain tahu, yang penting mereka jalan dulu, dan bila mereka melakukan kesalahan, mereka cepat-cepat memperbaikinya. Prinsip mereka, memperbaiki kesalahan sama dengan tidak membuat kesalahan. Sedangkan aku terjebak pada idealisme semu.
Saat aku mulai membangun jalanku sendiri, segerombolan orang mengetawai, statement mereka, itu hal yang percuma. Jaman sekarang nggak bakalan bisa kita sukses sendirian. Harus ada komunitas yang punya visi bersama. Lagi-lagi kuhentikan usaha riilku, ibarat keledai, aku kembali terjatuh pada lubang yang sama. Lubang pemikiran, lubang perandaian, dan lubang idealisme.
Mantan sahabatku seolah-olah menyadarkan dan menasehati dengan teguran dan kritik kerasnya. Membuatku kembali menjunjung tinggi keseimbangan hidup yang telah lama memudar. Slogan yang dulu coba aku tularkan ke rekan-rekan kerjaku.
Aku mulai tersesat dalam buku-buku teori, self help, dan yang terakhir filsafat. Hampir semua kerjaku, kutunda. Pagi, sore, dan pagi lagi, aku mencoba berfilsafat. Kadang dengan menuliskan pemikiranku dalam bentuk narasi, kadang dalam puisi, tapi lebih sering dalam kata-kata singkat yang kuabadikan dalam whiteboard.
Aku hampir gila pikirku, aku beralih ke novel. Baru ku sadar, aku telah kehilangan alat untuk mengekspresikan emosiku. Aku kehilangan tawa tulusku. Dan aku kehilangan kepedulian sosialku.
Aku sadar, kedewasaan bukan terletak pada diri sendiri, tapi peduli terhadap orang lain. Disitulah kedewasaan yang sejati, pikirku. Kembali, aku mendayagunakan buku-bukuku untuk merebut kembali status sosialku sebagai orang yang 'peduli'.
Sementara orang-orang kembali memuji kemampuan menulisku. Ada yang bilang tulisanku bisa mengalir, mirip di kompas. Adalagi yang bilang tulisanku bukan sekedar cerita, tapi mengajak pembaca ikut mikir juga, terkadang ada juga yang terbawa dengan sisi melankolisku. Ada yang kirim email, dan sms, kala bloggerku koma 3 bulan, kangen tulisanku katanya.
Jangan salah, ada juga yang memaki dan komentar kok seolah-olah aku ini orangnya sok banget. Ada juga yang sksd setelah membaca bloggerku, seolah-olah mereka tau benar apa yang aku rasakan, dan mereka secara swadaya menganggap sebagai sahabatku, orang yang kenal dan tau benar tentang tabiatku.
Aku tersenyum, teringat pada Einstein yang mempertanyakan hakikat ilmu, deskripsi panjang lebar tentang sebuah sup, toh bukanlah rasa sup itu sendiri.
Ketakutan itu kembali mewabah, aku takut menjadi sisifus abad 21. Hampir aku berhenti menulis.
Aku takut menulis, takut berbicara banyak, dan takut berbuat kesalahan. Sungguh bukan cara yang tepat. Sampai-sampai aku mengulang lagi kesalahan itu, ternyata aku tidak mengalami kerugian berarti, justru sebaliknya. Aku sadar, takut kegagalan itu adalah buah pahit dari bobroknya sistem pendidikan di negri ini. Kreativitasku diculik, diracun. Kini aku menggugat.
Dengan jaksa penuntut umum idealisme, dan hakim agung kebijaksanaan. Diputuskan, aku harus liburan. Bertepatan dengan kebiasaan akhir taun, sembayang bareng keluarga di centrum jogja pada saat tahun baru.
Kini, hari terakhir vonis itu, besok aku bisa kembali bebas. Liar. Apa adanya.
Dan kubawa pialaku itu, piala sumber motivasi, untuk kembali ke medan pertempuran batin, dengan pena sebagai senjata utama.
Aku pikir cuman segelintir orang aja yang bener-bener bisa fokus memanfaatkan waktunya, sementara sebagian besar harus bersahabat akrab dengan keluhan, bahkan statement "kok sehari cuman ada 24 jam ya?"
Aku sendiri termasuk golongan yang kedua. Meskipun beberapa sahabatku, mengkategorikan aku masuk kedalam golongan pertama. Bingung, lalu kutanya indikatornya apa, jawabnya ya karena aku kerja ini itu (skripsi, ngajar, ngedit dan bikin soal). Alamakk pikirku, betapa tidak akuratnya indikator itu.
Aku pikir bukan masalah 24 jam-nya, bukan masalah seberapa banyak kerjaan, tapi apa yang penting buat kita. Kalo kita sendiri udah bisa mendefinisikan dengan baik, mana yang penting buat kita, mana yang jadi prioritas, maka kegiatan lain akan mengalir dengan sendirinya.
Klise yah? itung-itung sedikit menghibur diri lahh...
Orang luar cuman liat, oh program skripsi nya kan udah kelar jadi skripsinya udah pasti beress lahh. Atau, wah ndok kan udah jago nulis, jadi harusnya ngedit dan bikin soal mah kecill..
Adalagi yang komentar, ala..si ndok kan udah jago persentasi...ngajar mah simplee...
Andai memang segampang itu, mungkin tiap hari aku nggak akan terbelenggu sama kerjaan. Bahkan liburan ini, bukan bener-bener liburan, karena aku masih mikirin...ya sederetan deadline, dan gado-gado kebingungan plus sambel ketakutan.
Udah tau beberapa tips biar bisa fokus sama apa yang mesti dikerjain hari ini, udah tau kalo mesti bikin planning mingguan, bulanan, bahkan taunan. Udah tau kalo mesti bikin skala prioritas. Tapi ya itu, pelaksanaannya nggak segampang itu. Aku yakin semua setuju.
Lama aku mencari jawaban, gimana cara paling bagus membagi waktu. Mulai dari baca buku, tanya orang sana-sini, toh kalo udah bisa mbagi waktu secara ideal, kita dihadapkan pada suatu hal yang lain. Motivasi buat ngelakuin jadwal ideal itu ada apa nggak?
Mata rantai itu nggak terputus sampai di situ aja, aku kembali mencari apa itu motivasi sejati. kira-kira apa ya yang bisa bikin orang itu tiap hari semangat, ulet, punya kegigihan. Kembali misi pencarian itu di mulai, dan hasilnya hampir nihil.
Lalu aku diturunkan kembali di persimpangan, aku harus memilih, aku disadarkan, aku nggak bakalan bisa memiliki semuanya, aku nggak bakalan bisa dapetin semuanya. Sementara sebagian kecil dari masyarakat ini mulai menggembor-gemborkan metode khusus untuk memprogram otak sesuai dengan yang kita mau. Artinya ya, kita akan jadi orang kayak apa, tergantung diri kita ini gimana bikin programnya, gimana kasih input yang bener setiap hari. Lagi-lagi aku harus mencari jawaban, untuk apa sih hidupku ini?
Sementara aku duduk di persimpangan dan belum memilih mana jalan yang akan aku tempuh, orang yang kebetulan lewat di persimpangan itu menasehati "bikin saja jalanmu sendiri!" Sszzp...seolah-olah aku bangun dari tidurku di persimpangan itu. Aku sadar, terlalu lama aku berhenti di persimpangan itu. Sementara orang lain tahu, yang penting mereka jalan dulu, dan bila mereka melakukan kesalahan, mereka cepat-cepat memperbaikinya. Prinsip mereka, memperbaiki kesalahan sama dengan tidak membuat kesalahan. Sedangkan aku terjebak pada idealisme semu.
Saat aku mulai membangun jalanku sendiri, segerombolan orang mengetawai, statement mereka, itu hal yang percuma. Jaman sekarang nggak bakalan bisa kita sukses sendirian. Harus ada komunitas yang punya visi bersama. Lagi-lagi kuhentikan usaha riilku, ibarat keledai, aku kembali terjatuh pada lubang yang sama. Lubang pemikiran, lubang perandaian, dan lubang idealisme.
Mantan sahabatku seolah-olah menyadarkan dan menasehati dengan teguran dan kritik kerasnya. Membuatku kembali menjunjung tinggi keseimbangan hidup yang telah lama memudar. Slogan yang dulu coba aku tularkan ke rekan-rekan kerjaku.
Aku mulai tersesat dalam buku-buku teori, self help, dan yang terakhir filsafat. Hampir semua kerjaku, kutunda. Pagi, sore, dan pagi lagi, aku mencoba berfilsafat. Kadang dengan menuliskan pemikiranku dalam bentuk narasi, kadang dalam puisi, tapi lebih sering dalam kata-kata singkat yang kuabadikan dalam whiteboard.
Aku hampir gila pikirku, aku beralih ke novel. Baru ku sadar, aku telah kehilangan alat untuk mengekspresikan emosiku. Aku kehilangan tawa tulusku. Dan aku kehilangan kepedulian sosialku.
Aku sadar, kedewasaan bukan terletak pada diri sendiri, tapi peduli terhadap orang lain. Disitulah kedewasaan yang sejati, pikirku. Kembali, aku mendayagunakan buku-bukuku untuk merebut kembali status sosialku sebagai orang yang 'peduli'.
Sementara orang-orang kembali memuji kemampuan menulisku. Ada yang bilang tulisanku bisa mengalir, mirip di kompas. Adalagi yang bilang tulisanku bukan sekedar cerita, tapi mengajak pembaca ikut mikir juga, terkadang ada juga yang terbawa dengan sisi melankolisku. Ada yang kirim email, dan sms, kala bloggerku koma 3 bulan, kangen tulisanku katanya.
Jangan salah, ada juga yang memaki dan komentar kok seolah-olah aku ini orangnya sok banget. Ada juga yang sksd setelah membaca bloggerku, seolah-olah mereka tau benar apa yang aku rasakan, dan mereka secara swadaya menganggap sebagai sahabatku, orang yang kenal dan tau benar tentang tabiatku.
Aku tersenyum, teringat pada Einstein yang mempertanyakan hakikat ilmu, deskripsi panjang lebar tentang sebuah sup, toh bukanlah rasa sup itu sendiri.
Ketakutan itu kembali mewabah, aku takut menjadi sisifus abad 21. Hampir aku berhenti menulis.
Aku takut menulis, takut berbicara banyak, dan takut berbuat kesalahan. Sungguh bukan cara yang tepat. Sampai-sampai aku mengulang lagi kesalahan itu, ternyata aku tidak mengalami kerugian berarti, justru sebaliknya. Aku sadar, takut kegagalan itu adalah buah pahit dari bobroknya sistem pendidikan di negri ini. Kreativitasku diculik, diracun. Kini aku menggugat.
Dengan jaksa penuntut umum idealisme, dan hakim agung kebijaksanaan. Diputuskan, aku harus liburan. Bertepatan dengan kebiasaan akhir taun, sembayang bareng keluarga di centrum jogja pada saat tahun baru.
Kini, hari terakhir vonis itu, besok aku bisa kembali bebas. Liar. Apa adanya.
Dan kubawa pialaku itu, piala sumber motivasi, untuk kembali ke medan pertempuran batin, dengan pena sebagai senjata utama.
Post a Comment