Berhati-hatilah dengan pikiranmu,
karena itu akan menjadi ucapanmu.
Berhati-hatilah dengan ucapanmu,
karena itu akan menjadi tindakanmu.
Berhati-hatilah dengan tindakanmu,
karena itu akan menjadi kebiasaanmu.
Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu,
karena itu akan menjadi karaktermu.
Berhati-hatilah dengan karaktermu,
karena itu akan menjadi tujuan hidupmu.
Apa yang kita pikirkan, itulah apa jadinya kita.
Ayahku selalu mengatakan itu.
- Margaret, Iron Lady, 2011


Dulu, jaman kuliah dan aktif di komputer klub, hampir semua buku-buku pengembangan kepribadian menuliskan baris-baris di atas. Saya langsung ingat ketika Margaret mengucapkan baris pertamanya, meski ditulis dalam bahasa inggris.

Twitter dan blog, atau sebutlah media sosial lainnya, tempat dimana kita bisa mengungkapkan isi hati kita, mengungkapkan pikiran kita, atau sekedar berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sosial diri kita sendiri. Banyak alasan kita melakukan hal itu, sore ini saya ingin mencermati salah satu alasannya saja, yaitu, harapan kita untuk dimengerti oleh orang lain menjadi lebih besar.

Sialnya, ketika apa yang kita sampaikan di media sosial itu kemudian dianggap sebagai nilai kebenaran. Ungkapan pikiran di media sosial, yang seharusnya menjadi pembantu supaya kita bisa lebih memahami orang yang bersangkutan, ternyata kenyataan aslinya tidak begitu.

Lalu saya ingat pada hukum kekekalan energi, bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, energi hanya dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Nah, ketika kita berinteraksi di media sosial, energi apakah yang kita kirimkan?

saya sampai pada satu kesimpulan, bahwa kebijaksanaan adalah seni mengolah energi. orang yang bijaksana mampu mengubah, katakanlah input negatif dari orang lain entah itu berupa rasa marah, benci, atau apapun itu, kemudian menjadi energi netral, sukur-sukur energi positif.

Oh. tulisan saya yang ini jangan dianggap serius, karena saya sedang kelaparan :))