tanya, bertanyalah?
jadi terinspirasi buat nulis tentang bertanya. Ya, bertanya, alias mengajukan pertanyaan. Buat yang belum tau, mungkin nggak tau ya, kalo aku nih orang yang paling suka mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh. Dan setelah kejadian siang ini, aku jadi pengen banget nulis tentang kebiasaanku bertanya ini.

memoriku yang pas-pasan ini, kembali menginat masa-masa di sekolah dulu, mulai dari tk, sd, smp, smu, dan yang barusan kelar ya kuliah. Totalnya 17,5 tahun sudah hidupku belajar secara formal di institusi pendidikan, 14 tahun disebut sekolah, dan 3,5 tahun terakhir disebut kuliah. Aku nggak ingat pasti, kapan aku jadi malu dan takut buat bertanya di dalam kelas. Percaya nggak percaya, di benakku ini ada pendapat bahwa selama masa sekolah, yang bertanya di dalam kelas itu adalah orang yang bodoh, dan selama kuliah orang yang bertanya di dalam kelas itu adalah orang yang gila belajar, alias rajin, alias sok rajin di mata orang-orang yang duduknya di bagian belakang pada saat kuliah berlangsung.

aku jadi heran juga, kok dari sekolah, trus ke kuliah, bisa terjadi loncatan paradigma tentang bertanya ya? yah, gara-gara paradigma yang tanpa aku sadari aku pupuk tiap hari selama sekolah itulah, aku jadi nggak nyaman belajar di sekolah. Sekarang sih aku berkesimpulan bahwa pembunuhan karakter yang sebenarnya ada di bangsa ini justru ada di bangku-bangku sekolah. Oke, kita mundur dulu, mungkin itu cuman paradigma milikku saja, bahwa saat sekolah yang bertanya adalah orang yang bodoh, dan saat kuliah orang yang bertanya adalah orang yang gila belajar, alias rajin, alias sok rajin di mata orang-orang yang duduknya di bagian belakang pada saat kuliah berlangsung. Dan kesimpulan bahwa pembunuhan karakter sebenarnya itu ada di bangku-bangku sekolah, itu hanya kesimpulan pribadiku sendiri, berdasarkan pengamatan diriku sendiri tentang diriku sendiri, jadi aku subjek sekaligus objek pengamatan. Sayang sekali aku tak dapat menggunakan metode dan menarik kesimpulan secara ilmiah.

Iya, rasanya memang begitu, mungkin selama 14 tahun itu, pertanyaan yang aku ajukan di dalam kelas itu bisa dihitung dengan jari. Hahaha...aku yakin tuh bisa diitung dengan jari, sebelah jari juga bisa, tapi berapa kali repetisi aku kurang tau pasti. Intinya sih pertanyaan yang aku ajukan itu sedikit. Karena ya itu, napsu belajarku dibikin impoten dan semangat belajarku mengalami ejakulasi dini. Selama 17,5 tahun itu, sangat minim sekali hal-hal yang masih aku sadari, bahwa itu aku dapet dari bangku pendidikan. Oke lah, aku bisa baca-tulis, aku tau kalo barang jatuh itu pasti kebawah, aku tau kalo matahari itu terbit di timur dan tenggelam di barat. Tapi begitu aku tanya lagi lebih jauh, seberapa lihai sih aku nulis? Utara-timur-selatanpun aku masih buta kalau aku ada di tempat baru. Aku bisa menikmati masa-masa sendiri memandang bintang, tapi aku nggak tau itu rasi bintang apa. Mungkin secara nonformal di institusi yang formal itu, harusnya aku pernah belajar bagaimana caranya mengikat, iya mengikat tali atau apapun kek. Tiap kali aku mau ngikat sesuatu, pikiran ini harus bekerja dulu "hm...kira-kira metode ngikat yang bagus gimanaa ya..." dan akhirnya aku terlalu asuk dengan pemikiran-pemikiranku itu, dan keharusanku mengikat, kulupakan, atau kadang tertunda lama.

yang paling parah, aku sempat membesarkan paradigma yang salah tentang belajar. Bahwa belajar itu adalah untuk menjawab soal di sekolah pada saat ada PR, saat ditanya guru, atau pada saat ulangan, atau ujian akhir. Jadi esensi belajar menurut paradigmaku yang lama itu, adalah menakutkan, keharusan, paksaan, dan kemaluan. Iya, kemaluan, karena saat aku tidak mengerjakan pr, aku dihukum di depan teman-teman. Saat ditanya guru dan aku tidak bisa menjawab, aku ditertawai teman-teman sekelas. Saat ulangan dan nilaiku jelek, si guru dan teman-teman sekelasku itu memandang sebelah mata, seolah olah mereka bilang "percuma kamu sekolah" atau "makanya jadi anak jangan nakalll..." Saat ujian akhir dan nilai totalnya rendah, maka aku jadi individu yang tersingkir dari gemerlapnya kehidupan orang-orang populer 10 besar di kelas. Yah, semua itu bermuara pada kemaluan. Rasanya malu sekali, menjadi diriku itu.

Belum lagi masalah sikap, rambut panjang sedikit di jambak oleh si guru, kuku panjang sedikit dipukul pake penggaris kayu, nggak bawa buku dipukul pahaku pake rotan. Yah, aku pikir-pikir lagi, kejam sekali guru-guruku saat SD dulu. Saat SMP, selain hukuman batin oleh dari setiap individu guru, plus guru BP. Hukuman batin dari tiap individu guru itu cakupannya masih terbatas, satu kelas aja, mungkin bisa tersebar ke kelas-kelas lain kalau kita itu masuk orang populer, yah aku dulu populer karena nakal. Tapi kalau si guru BP sudah manggil, nah ini dia, cakupannya jadi sedikit lebih luas, minimal satu angkatan bakalan tau. Sebabnya tuh macam gini loh, rambut di semir, bawa motor atau mobil ke sekolah padahal belum punya sim, bawa hp ke sekolah, atau ngerokok. Tapi kalo udah di skors beberapa hari-minggu sama si guru BP ini, nahh ini paling tinggi nih, satu sekolah! macam bawa obat teler kesekolah, berkelahi, atau tawuran.

Dari SD dan SMP yang kayak begitu itu, masuk ke smu yang penuh kebebasan tapi bertanggung jawab. Anak-anaknya dididik dengan semangat 'to be man for others', dituntut untuk selalu berpikir kritis. Yah, maklum sekolah laki semua, makin dihukum kita, bisa jadi makin terkenal di satu angkatan, yang efeknya bakalan merembet ke satu angkatan tapi di sekolah lain, yang muridnya perempuan semua, atinya, popularitas, sama dengan gampang cari gebetan, gampang cari pacar, mau gonta-ganti pacar juga nggak susah. Yah, aku sempat menikmati masa-masa penuh hukuman itu, justru semangat 'to be man for others' dan kebebasan yang bertanggung jawab itu diasah melalui hukuman-hukuman yang aku dapat. Hampir nggak ada pelajaran formal yang aku pahami dan aku terapkan dalam kehidupanku pada saat itu. Aku masih malu untuk bertanya. Kala aku mengajukan pertanyaan, dan anak-anak sekelas memandangku, karena aku dikenal tidak bernapsu akan pelajaran, mulailah deguban jatungku yang keras itu, diiringi dengan naiknya adrenalin, perasaan ini sama seperti saat aku mengendarai motorku kencang sekali dan hampir jatuh atau hampir nabrak. Nada suara tegangku dan adrenalinku baru turun, sekian menit setelah aku bertanya. Lucu ya?

Tapi aku masih kurang bisa memahami sepenuhnya apa itu berpikir kritis. cuman kata berpikir saja yang melekat kuat di benakku. Akibatnya, aku sampai sekarang nggak tau ini baik atau buruk, tapi aku jadi kebanyakan mikir. Kadang mikirin yang enggak-enggak, kadang mikir yang seharusnya nggak usah dipikirin.

Dunia kuliah lain sekali, aku sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan orang-orang disekitarku. Sebagian dengan senang hati menjawab, dan dengan hati yang terbuka menerima bantuan. Sebagian lagi sama sekali tidak ingin terbuka tentang kehidupan pribadinya dan mengecap aku ini terlalu ingin ikut campur dalam kehidupan setiap orang. Yah, maklum 14 tahun terbelenggu dalam ketakutan bertanya, lalu aku ada pada posisi yang memang informasi itu penting sekali. Seolah-olah, napsuku tersalurkan di jalan tol, tersalurkan dengan bebas, tanpa macet!

Sampai aku juga menemukan napsuku kuat sekali terhadap buku. Yah, aku bernapsu sekali dalam membeli buku. Baca, mungkin nanti, tapi beli seolah-olah lebih penting dari sandang-papan-pangan. Dan mulailah perjalanan intelektualku, meskipun masih merangkak, belum berjalan, apalagi berlari. Malahan lebih sering berisitirahat, daripada bergerak maju. Aku menyadari banyak hal, dan semakin banyak lagi saat aku menuliskannya, dan membaginya ke orang lain. Entah orang itu memang ingin mendengarkan, atau karena kebiasaanku yang keasikan berbicara sendiri di depan mereka.

Sampai kejadian siang tadi, aku bertanya-tanya tentang pajak. Aku dapat jawaban semua yang aku mau, sampai 2 kejadian kecil yang membawaku untuk menuliskan hal ini. Kejadian yang pertama adalah statement "Ini pertanyaan terakhir tentang tax ya.." dan yang kedua adalah kejadian di mana pertanyaanku itu tidak dijawab.

Aku jadi benci bahwa aku harus jadi subjek yang bertanya dan aku tak berdaya atas sikap-sikap mereka itu. Oke, mungkin memang benar, bertanya adalah jalan termudah untuk belajar, dan biasanya orang yang merasa kemampuannya itu sudah didapat dari kerja keras, atau mengeluarkan biaya banyak, orang-orang seperti ini tidak ingin rugi, tidak ingin merasa tersaingi. Aku bilang mereka pelit ilmu. Padahal saat aku menjadi objek bertanya, aku terbiasa untuk memberi tahu semua yang aku tahu.

Oke lah, mungkin ada niat baik mereka, bahwa yang harus kita punya adalah kemampuan untuk otodidak. Bukan kemampuan untuk mengetahui apa yang ingin diketahui pada saat itu. Kemampuan untuk otodidak akan bertahan sepanjang masa, sementara kemampuan untuk mengetahui apa yang ingin diketahui saat itu levelnya berada dibawah, jauh dibawah kemampuan untuk ototidak. Bukan cuman otodidak dalam hal ilmu, tapi hal yang simple seperti gathering informasi, di jaman sekarang ini, sudah pasti jadi kemampuan yang harus dimiliki oleh semua orang.

Oke lah, mungkin hukuman kejam oleh guru SD dan SMP ku itu dilakukan karena mereka ingin anak muridnya menjadi yang lebih baik. Tapi tetap saja aku merasa, karena mereka merasa tak berkuasa, dan tak dihargai di lingkungan keluarganya, atau di masyarakat, sehingga pada saat mereka di kelas, otomatis mereka jadi orang yang paling berkuasa, karena mereka guru, karena mereka digugu dan ditiru, karena daftar nilai, dan penilaian anak muridnya ada pada individu yang tak berkuasa itu tadi. Jadi, pada saat mereka berkuasa, ya pada saat mereka di dalam kelas itulah, mereka semena-mena melakukan pembunuhan karakter, dan pembantaian napsu belajar.

Oke lah, mungkin kalau aku tak mengalami masa laluku itu, aku sekarang tak dapat menuliskannya, dan tak mungkin menyadarinya. Yah, aku hanya bisa berterima kasih, kepada dua orang yang jadi pemicuku untuk menuliskan postingan ini. No offense, jangan tersinggung, aku hanya berterima kasih, dan tulisan inilah wujud terima kasihku. Aku hanya berjanji pada diriku sendiri, untuk lebih giat bertanya. Jika aku menemukan orang yang tak memuaskan keingintahuanku, maka aku akan bertanya ke orang lain. yah, kira-kira gitu. Maka, bertanyalah?