Setelah quote the saddest thing in life is a wasted talent, sudah seharusnya saya berbagi dengan cara menuliskannya di sini, tentang the happiest thing in life. Kemaren, saya mengalami hal ini. Saya lulus ujian cisco CVOICE, salah satu modul dari CCVP (Cisco Certified Voice Professional), nilainya paling tinggi diantara ujian professional level saya lainnya.
sebetulnya, semua sertifikasi saya masih berlaku sampai desember tahun ini. Saya agak sedikit ogah-ogahan untuk re-certified. Okelah, saya terkadang masih jadi freelance network engineer, tapi itu bukan pekerjaan setiap hari, dan memang saya tidak lagi hands-on setiap hari di dunia jaringan komputer, kurang lebih sudah hampir mendekati 5 tahun semenjak saya pulang ke jogja. Proyek-proyek freelance yang saya terima, ada yang biasa saja, ada yang memang kadang bikin heboh dan senyum-senyum sendiri, adapula yang cuma ngrestart router backbone saja. Intinya, saya merasa, di bidang ini kemajuan saya tidak begitu pesat.
Dulu, saya sempat punya impian untuk jadi CCIE (Cisco Certified Internetwork Expert). Bagi yang belum pernah dengar, CCIE adalah sertifikasi paling disegani saat ini di dunia IT. Sampai saya menuliskan postingan ini, jumlah CCIE di dunia tidak sampai 40 ribu orang. Jangan tanya lah ya, di Indonesia ada berapa banyak, selain jumlahnya yang masih sedikit, saya juga tidak memiliki data yang akurat :D
Saya juga masih punya tatto logo CCIE di kaki kanan saya. Meski tak lama sejak saya bikin tatto tersebut, ternyata logo CCIE diganti jadi yang baru. Wis jan, asem tenan.
Akhirnya saya berdamai dengan diri saya. Impian itu tidak terukir di atas batu. Impian itu bisa berubah dan kita tidak perlu merasa buruk karena memiliki impian yang berubah. Memiliki impian itu penting, tapi tanggung jawab juga tidak kalah pentingnya. Oh, percayalah, saya perlu waktu lama untuk berdamai dengan diri sendiri perihal impian ini.
Kenapa bisa begitu? mari, coba kita ingat kehidupan orang tua kita. Dalam kasus saya, kedua orang tua saya memang kurang beruntung perihal impiannya. Saat menuliskan ini, saya sedang tidak ingat apa impian bapak saya. Impian ibu saya waktu kecil adalah tidak ingin buka toko, lha kok sekarang malah buka toko. Kenapa bisa begitu?
Bapak dan ibu saya menikah di usia yang cukup muda. Mungkin, itulah sebabnya mereka harus mengesampingkan impian mereka, untuk kemudian lebih mementingkan tanggung jawab sebagai orang tua, membesarkan kami bertiga. Bagi saya, orang tua adalah manusia biasa tapi dengan tanggung jawab lebih. Aneh ya, pandangan tentang orang tua, sementara saya sendiri belum menjadi orang tua.
Lalu saya berpikir, rejeki generasi sebelum saya, nampaknya memiliki pilihan impian yang terbatas. Saya sempat iri dengan generasi jaman penjajahan. Dalam imajinasi saya, impian generasi muda saat itu adalah berjuang mengusir penjajah, kalo perlu, berangkat perang. Simple sekaligus bikin saya iri. Iya, iri karena nggak perlu lah ya mikir mau mencapai apa dalam hidup, yang penting berjuang untuk negara, berangkat perang saat yang lain juga berangkat perang.
Bingung? Sudahlah, intinya saya cuman mau bilang, saya merasa saat ini saya harus lebih bertanggung jawab membalas budi ke orang tua. Wujudnya apa? nanti ya, bagusnya kalo sudah terwujud baru saya cerita.
Jadi saya akan menyimpan impian itu, sama seperti para orang tua yang menyimpan impiannya untuk membesarkan anak-anaknya, dan apabila anak-anaknya sudah dewasa, bisa hidup mandiri, ternyata impian itu masih ada, maka saat itulah impian itu harus dikejar lagi. Dalam konteks saya, berlaku kebalikannya.
Sebetulnya, ketika saya bertanya lagi kenapa saya harus CCIE, saya merasa untuk ukuran orang dengan kecerdasan pas-pas an, saya ingin menjadi teladan bagi orang lain, bahwa mereka juga bisa jadi CCIE kalau mereka mau. Menginspirasi banyak orang. berguna bagi orang lain. Kali ini, saya ingin melakukannya dengan cara menuliskan hal-hal teknis yang saya bumbui dengan pengalaman saya selama menjadi network engineer. Tak banyak memang, bila dibandingkan dengan pengalaman network engineer lain, tak apalah, setidaknya saya tidak banyak berdiam diri, bergerak meski pelan dan tak berhenti. Jauh lebih masuk akal untuk saya saat ini ketimbang harus kembali menjadi network engineer setiap hari.
Kesimpulannya, ada yang menemukan dirinya dalam pekerjaan, ada yang berkarya bagi orang banyak, ada yang menemukan dirinya melalui kisah cintanya. Perjalanan setiap orang pastinya berbeda-beda. Yang asik adalah ketika dalam perjalanan kita itu, kita menemukan orang lain yang tau tentang bakat kita, dan selalu mendukung kita untuk tetap berada pada jalur bakat tersebut, terlebih ketika kita sendiri sedang tidak yakin dengan diri kita. itulah the happiest thing in life.
ps: kamu, iya kamu. kombinasi antara the saddest thing in life dan the happiest thing in life. Trimakasih ya...